Sabtu, 12 September 2020

Long distance relationship 2.0

Tinggal berjauhan itu sesungguhnya adalah hal yang berat. Dan aku adalah salah satu dari makhluk yang Tuhan ciptakan, sebagai perindu yang payah.Aku terkadang mengutuki jarak, tapi katanya berkat jarak rindu itu tercipta.


Si patjar — Masih orang yang sama saat aku menulis kisah cintaku yang harus berdamai dengan jarak. Kamu, aku sayang sungguh-sungguh.


Long distance relationship, katanya

Saat kau tinggal berjauhan,

kau nyaris hampir terlupakan,

Terbaikan,

Terlewatkan oleh moment-moment keseruan dalam hidupnya, keluargamu atau teman-temanmu,

Walaupun mereka tau, moment itu tak akan pernah lengkap tanpa hadirmu.


Long distance relationship, katanya.

Lambat laun kamu mulai terbiasa, 

Terlupakan dan terabaikan,

Digantikan oleh banyak rutinitas yang sengaja dibuat untuk membunuh rindu, walaupun tetap kabar berita terus kamu terima.

Meskipun, kadang kala pesan-pesan singkatmu tidak lagi terbalaskan secepat waktu senggang.

Kamu mau salahkan siapa?

Memang waktu tak lagi sama, dan kalian seperti sedang berlomba.


Long distance relationship, katanya.

Kamu terbangun, dia tertidur.

Dia tertidur, kamu terbangun.


Long distance relationship, katanya.

Dia tak tau apa yang sedang kamu alami, kamu tidak tau apa yang sedang dia alami.

Akhirnya kalian terbiasa, untuk tetap menjaga agar tetap baik baik saja.

Pikiran burukmu mulai teralihkan,

Kau tak sibuk lagi menyalahkan,

Mau tak mau, komunikasi kalian makin sering dan semakin intens dan searah.


Long distance relationship, katanya.

Terkaan dia tentang hidupmu yang baik baik saja, yang riuh ramai berderu seru,

Meski kerap kali, sepi menyapamu, 

Apa mau dikata,

Pintu kemana saja tak kamu miliki, ia hanya ada di imajinasi Doraemon semata.


Long distance relationship, katanya.

Entah sepi mulai membiasakanmu, 

Sehingga kau lupa bagaimana seharusnya sepi itu hadir untukmu.


Long distance relationship, katanya.

Kamu mulai belajar,

Kamu mulai menerima

Lelah berharap pada waktu yang tetap akan memisahkan,

Meski cinta terus kau pupuk dengan rindu.

Tak apa.


Long distance relationship, katanya.

Kamu mulai belajar,

Bahwa sabar selalu akan berbuah hasil.

Baper tidak ada gunanya,

Emosi telah ingkar berganti dengan sabar dalam ikrar.


Long distance relationship, katanya.

Kemudian kamu mulai tidak terlalu peduli, ketika pesan tak terbalaskan, 

Perasaan terabaikan,

Raga terlupakan,

Namun batin masih di persatukan.

Kuat-kuatlah kamu menjaganya, dalam doa yang tidak pernah putus, memintanya kepada Tuhannya untuk tetap tinggal menjadi milikmu.


Long distance relationship, katanya.

Meski tak lagi bersama,

Dia jauh disana,

Tetap tidak akan tergantikan olehnya yang dekat bersama,

Bagaimana mungkin kau akan lupa,

Jika hanya dia yang membuat lega, bahagia dan nyaman.


Long distance relationship, katanya.

Hidup terus berlanjut,

Tidak pedulikan emosi yang terus berkecamuk,

Dan rindu yang terus merajut,

Karena jarak dan waktu telah membuat bisa dan biasa.


Long distance relationship, katanya.

Kau tak lagi berharap,

Pada manusia,

Yang terkadang juga berhenti berharap dan sekali-kali lupa.

Layangkan doa, untuk menjaganya. Percaya saja, ia akan baik-baik saja.


Long distance relationship, katanya.

Tak usah lagi banyak menerka,

Karena tak lama lagi kita akan bertemu,

Melepas rindu yang semakin menggebu.


Sabtu, 05 September 2020

Agar Santun dalam Mencintai

Kopi Klotok, Jogjakarta — Maret, 2020



Sampai sekarang saya masih percaya kalau Tuhan itu memang menciptakan manusia ini berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, mereka akan menemukan jalan mereka masing-masing dan berakhir menjadi satu, bukan lagi dua orang yang berbeda tapi dua orang yang beda tapi disatukan atas nama cinta.


Di saat semua teman saya mulai menemukan pasangan mereka, memantapkan hatinya untuk berlabuh, lalu saya berpikir bahwa dewasa ini manusia modern sangat membutuhkan pasangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena seperti teh tanpa gula, tawar rasanya hidup tanpa pasangan, bagi sebagian orang hidup mereka seperti kurang warnanya.


Untuk menemukan warna yang baik untuk melengkapi lukisan mereka, manusia menjadi pintar mencari cara untuk menemukan pasangan, mereka menjadi kreatif dengan sendirinya, berbagai cara mereka lakukan dari yang beradab sampai yang paling biadab.


Beberapa kali melihat banyak cerita di linimasa dan cerita teman, bahwa memang sejatinya kita hidup selalu akan penuh dengan cobaan. Dan salah satu dari cobaan itu adalah adanya istilah pelakor dalam sebuah hubungan yang sedang terjalin.

Mungkin ini adalah salah satu cara dari berbagai cara tersebut, menikung pasangan orang lain. Hal ini biasanya terjadi karena ada hukum penawaran dan permintaan dalam pola hubungan yang di bangun.

Biasanya seseorang akan menjadi bosan pada hubungan dengan pasangannya dengan alasan yang berbeda-beda, entah mungkin karena terlalu sering bertemu atau sebaliknya, mungkin saja gaya pacarannya yang begitu-begitu saja, disaat seperti itu akan ada orang lain yang sangat jeli memperhatikan peluang pasar dan memanfaatkan kemelut ini untuk menendang bola alih-alih semoga tembus ke gawang, dan GOL! 

Dia akan datang semacam sales MLM yang menawarkan kemudahan dalam masalahmu dan solusi untuk semua problematika hidupmu, cinta salah satunya.

Ah, memang manusia selalu tidak akan pernah puas. Kenapa Tuhan tidak menciptakan manusia dengan rasa cukup saja?!


Well, tidak ada yang bisa disalahkan dalam proses ini dan tidak akan juga mendapat pembenaran. Karena sejatinya, setiap yang bernyawa bebas untuk mencintai dan dicintai, mereka berhak untuk merasakan itu, namun tentunya dalam urusan mencinta dan dicintai pun selalu ada aturan mainnya, ada kaidahnya, ada cara-cara yang baik pula, sebab selama ini yang kita tau adalah sesuatu yang di mulai dengan baik akan selalu berakhir dengan baik, dan adanya orang lain di hubungan seseorang itu tentu adalah permulaan yang tidak baik.


Mari belajar untuk memposisikan diri sebagai orang yang tersakiti, agar berpikir beribu-ribu kali untuk menikung hubungan seseorang.

Jika kita mendapati hubungan seseorang sedang di ujung tanduk, maka sebaiknya kita jangan menjadi tanduk yang lain untuk menghancurkan dengan ganas hubungan tersebut. Sah-sah saja jika kamu mencintai dan dia pun punya rasa terhadapmu, tapi berilah dia waktu untuk menyelesaikan masalahnya dengan pasangannya, dan biarkan dia untuk memilih pada akhirnya akan bertahan atau melepaskan.

Jangan mencuci pikiran seseorang yang sedang gamang, dan percayalah saja pada hukum alam bahwa apa-apa saja yang sudah di tentukan oleh semesta selalu akan mencari jalannya sendiri, dan manusia tidak bisa mengelak untuk hal itu, tidak perlu menjadi picik dalam mencintai, karena kamu perlu menjadi santun untuk saling mencintai.



Catatan di notes handphone, yang di tulis di Jogja dan baru di lengkapi di Ambon.

Jumat, 04 September 2020

Sebuah Cerpen - Cuma Teman

Kalau ada yang bilang cewek sama cowok bisa sahabatan tanpa melibatkan perasaan, tolong bawa orang itu ke hadapanku sekarang. Karena aku paham betul bagaimana rasanya. 

Aku, Ian, adalah seorang laki-laki, dan Khloe, dia adalah seorang perempuan yang juga adalah sahabatku. Kami bersahabat sudah hampir enam tahun yang lalu, ketika aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan seseorang, lalu aku bertemu dengan Khloe di sebuah acara, kami bertemu beberapa kali dan menjadi dekat. Kami bisa bersahabat dengan baik-baik saja tanpa takut tergelincir ke jurang yang namanya jatuh cinta.

Tidak sulit untuk bersahabat dengan Khloe, kami saling melengkapi dan rasanya cukup punya orang lain yang untuk mendengar segala keluh kesah hidup yang mungkin tidak bisa aku jelaskan dan ceritakan kepada kekasihku. Kami seperti sepasang sepatu, aku kiri dan dia kanan. Kami adalah pagi dan malam, matahari dan bulan. Seperti roti dan selai kacang, mungkin seperti itu.

Aku kemudian pindah ke Denpasar, cukup jauh dari tempatku sebelumnya, tapi beberapa kali aku selalu menyempatkan untuk pulang, kadang saat libur panjang atau saat natalan. Khloe tetap tinggal di kota ini, menyelesaikan kuliahnya. Kota kami namanya Amerta. Kota kecil, di Pulau Dewata, kira-kira lima jam dari Denpasar.

Aku ketika pulang, selalu menyempatkan untuk bertemu dengannya, sebisa mungkin. Saat jauh darinya, aku merindukan waktu kita bersama, makan di cafe kesukaan kami berdua, ngobrol sesuatu yang tidak penting, lalu tertawa karenanya. Ibu Khloe punya sebuah restaurant yang dekat dengan cafe ini, masakan ibunya tidak perlu diragukan lagi. Setiap aku pulang ibunya selalu memasak untukku, Sop Daging buatan ibunya selalu menjadi favoriteku, aku bisa makan sampai dua porsi.

"Gimana Denpasar Ian?" itu seperti pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh ibunya setiap aku pulang ke Amerta.

"Denpasar, ramai bu, tidak seperti Amerta yang masih sedikit orangnya, crowded sampai aku suka pusing sendiri", kataku.

"Ah, kamu masih saja seperti dulu, masih tidak suka keramaian dan selalu bilang pusing kalau sudah terlalu ramai, untung sudah tidak bersembunyi di toilet lagi ya kamu", dia pun tertawa dan aku pun ikutan tertawa. Memang sedekat itu kami, sampai keluarga kami pun tau semua kebiasaanku dan cerita memalukanku.

"Untung kamu pulang Ian, kasihan Khloe kemana-mana sendirian, sudah biasa sama kamu katanya", jelas ibunya.

"Ah, si manja memang bu dia." Aku kemudian tertawa dan mengacak-acak rambut Khloe.

Aku tau kalau kita sedekat itu, kemana aku pergi selalu akan ada Khloe dan begitu sebaliknya, saat kami tidak bersama orang akan bertanya "loh dimana dia?" dan karena kita sangat dekat beberapa orang menyarankan kami untuk berpacaran saja, yang tentu saja kami dengan cepat untuk bilang "tidak, tidak mungkin itu, kami hanya sahabatan dan ga akan pernah lebih dari itu."

Sejak enam tahun yang lalu, aku menemukan dan memutuskan untuk bersahabat dengan Khloe, rasanya dia selalu ada di setiap jatuh cinta yang aku alami, dan aku selalu ada di setiap patah hati yang aku pikul. Aku adalah orang pertama yang akan ia telfon, ketika ada lelaki yang mendekatinya dan dia adalah orang yang pertama aku ceritakan tentang cewek-cewek yang aku dekatin. 

"Kalau elo terus kayak gini sampai kapan dong kamu akan menetap di satu hati, tobat dong Ian kasihan anak perempuan orang elo cuma ajak dia main-main", nasihatnya yang selalu akan aku dengar ketika aku bercerita dengan siapa aku sedang menjalin hubungan yang tidak pernah aku seriusi.

Aku sampai sekarang bingung dengan cinta dan komitmen, rasanya aku juga menyadari kalau aku juga jahat kepada banyak perasaan. Tapi aku belum menemukan alasan kenapa dan kapan aku harus berhenti. 

Lalu, aku pun kembali ke Denpasar. Kehidupanku kembali seperti biasanya, kuliah, nongkrong, futsal, gitu aja terus. Aku kemudian mengakhiri hubunganku dengan kekasihku yang sekarang tepat sebulan sebelum natal. Dan kemudian aku memutuskan untuk tidak kembali ke Amerta untuk natal kali ini. Aku tetap di Denpasar, toh aku juga belum pernah natal sampai tahun baruan di Denpasar. 

Hari-hari berjalan dengan sangat cepat, luka hatiku sudah sedikit membaik. Sehabis ujian skripsiku, aku pulang ke Amerta, aku pulang ke kota yang penuh cinta di bulan yang di nobatkan semua umat manusia sebagai bulan pink, hari cinta ada di bulan ini, aku berharap cintaku juga tidak akan terus kelabu.

Semesta seperti mendengarkan doaku, aku lalu dekat dengan seseorang, seseorang dari masa lalu yang aku harap tidak akan berlanjut menjadi sesuatu yang diseriuskan, rasanya aku keliru, dia berhasil menarikku kembali dan senyumannya masih bisa dan selalu bisa menenangkanku sampai hari ini. Aku menemukan dia ketika di bandara, ternyata dia juga satu tujuan denganku, Amerta. 

"Darimana saja dia selama ini, kenapa baru muncul sekarang, atau aku yang terlalu lama pergi?", aku membatin ketika aku melihatnya sekali lagi di rumahku. 
Ia masih sama gadis kecil yang lucu dengan senyumannya yang lebar, yang masih aku kenali sedari dulu. Ia menyapa semua orang di rumahku dengan ramah, lalu dengan cepat menjadi akrab dengan mereka, aku kemudian mendapatkan hatiku terjatuh untuk kedua kalinya kepada gadis yang sedang tertawa bersama ibuku sekarang, dua wanita yang berhasil mencuri hatiku.

Kami bersepakat untuk tidak menceritakan hubungan kami kepada siapapun, karena aku hanya ingin menikmatinya seorang diri tanpa aku bagi dengan yang lain. Dan Khloe, belum aku beri tahu sama sekali. Kami masih melakukan banyak hal yang kami sukai dulu, ke pantai dan duduk di pinggir pantai, memeluknya dan menunggu sunset, ia masih menyukai senja, ia masih betah berlama-lama dalam pelukku. Sekian lama dia menghilang, dia tidak jauh berubah, hanya menjadi wanita yang lebih matang dan dewasa, aku mendapat bonus dia semakin cantik dengan sudah gemuk. 

Aku tau aku masih tergila-gila kepadanya, aku masih menjadi Ian yang akan menjadi sangat marah ketika ada yang membuatnya menangis dan aku masihlah Ian yang mengusahakannya untuk tetap bahagia. 

Astaga, sepertinya aku sudah gila.

Kemudian kami berbicara banyak hal yang serius tentang masa depan, ia meyakinkan raguku untuk bisa mendapatkannya sebagai teman hidupku, dan katanya dia juga mau mengusahakanku. Bagiku itu adalah sebuah semangat, semangat untuk terus membuatnya tinggal dan mengusahakannya.

Hari-hariku di Amerta kemudian menjadi berubah, hidupku penuh dengan cerita darinya siang dan malam, merindunya adalah pekerjaanku, dan bertemu dengannya semacam penawar. Dia bekerja seperti tuas pengamanku dan pengontrol naik turunnya emosiku. Memastikan dia tetap baik-baik saja di bumi seperti angin segar untuk pagiku.

Aku melupakan hari-hariku yang biasanya dengan Khloe, berubah semenjak ada dia.

Dia, Indira.

Aku tau mungkin Khloe akan marah, tapi aku sedang menikmati bahagiaku. 

"Semoga kali ini elo ngerti ya Khloe", bisikku dalam hati, lalu aku meraih tangan lembut yang sedang memelukku dari belakang, memberinya isyarat supaya lebih kencang memelukku. Udara di Amerta siang ini sangatlah cerah, anginnya tidak terlalu kencang dan mataharinya tidak terlalu menyakitkan untuk keluar dengan motor.

***

Kami pun berpacaran sampai tiga tahun, Indira, dia juga kenal dengan Khloe, mereka dekat dulu. Untungnya aku punya pacar yang pengertian, yang tidak begitu melarang pacarnya tetap berteman dengan sahabat ceweknya. Yang tidak pernah curigaan, aku selalu menduga-duga apakah Indira akan marah atau tidak, tapi aku selalu menceritakan setiap kejadian hariku, semua-semuanya, rasanya tidak ada satu pun yang terjadi di hidupku yang Indira tidak tau. 

Indira yang sekarang lebih dewasa, ia lebih tenang dan itu yang membuatku semakin jatuh hati kepadanya, cara-caranya memperlakukanku dengan sopan dan berbeda membuatku merasa sangat beruntung memilikinya sekali lagi. Aku selalu bilang "Aku sama Khloe itu hanya teman, percaya deh ga akan pernah lebih dari itu", Indira sempat bilang waktu itu ketika aku mengajaknya makan sehabis kita nonton dan telfon dari Khloe yang berulang-ulang kali masuk ke ponselku, aku yang antara takut ia akan marah, kemudian membalikan handphoneku "Udah, angkat aja, aku percaya kok sama kamu, kalau pacaran jaman sekarang masih ada kecurigaan, mungkin kali ini aku yang salah memilih hatiku untuk berlabuh lagi di orang yang salah".

Lihat, betapa dewasanya dia dan betapa sangat tidak mungkin aku tidak jatuh hati kepadanya.

***

Lalu, saat memasuki tahun ke empat kami berpacaran, aku kemudian memberanikan diri untuk melamar Indira, hari itu di Kamandalu, Ubud. Aku memberikannya cincin dan setangkai bunga anggrek merpati. Indira masih seperti yang dulu, tidak terlalu suka bunga, apalagi bunga mawar. Terharu dia ketika mendapatkan kejutan itu, memelukku kemudian menghadiaiku berkali-kali ciuman di bibir dan di dahi. 

"Terima kasih, sudah mau menjadi temanku berbagi sampai nanti, sampai maut memisahkan. Sayang sama aku terus ya, aku akan mencintaimu dan mengasihimu serta menjagamu sampai sekuat tenagaku, sampai maut memisahkan kita". 

***
"Sayang, aku hari ini ga bisa nemenin kamu buat meeting sama orang WO, kamu sama Khloe ya hari ini, nanti ada mama juga yang nemenin. Aku hari ini tiba-tiba harus ke Jakarta karena ada meeting buat proyek yang minggu lalu aku ceritain ke kamu..... Aku udah ngasih tau Khloe kok, nanti dia hubungin kamu". Jelasku kepada Indira.

***
"Sayang, aku lagi sama Khloe di rumahnya. Ibunya Khloe katanya kangen sama aku, katanya mau masak sop daging kesukaanku juga sebelum nanti kamu masakin aku, jadi aku harus makan masakan dia dulu sebelum jadi suamimu"

"Iya sayang, hati-hati ya kamu, kabarin kalau kamu nyampe yaa", kata Indira kepadaku.

Mobilku berhenti di depan rumah bergaya scandinavian yang serba putih milik Khloe dan keluarganya, ibu Khloe suka sekali menanam bunga, sama seperti ibu lainnya. Hari ini terlalu panas, aku hanya menggunakan kaos oblong oversize berwarna putih bergambar The Simpson. Khloe berdiri di depan pintu rumahnya dengan celana pendek dan baju crop tee yang selalu ia gunakan, tubuhnya selalu cocok bila menggunakan baju seperti itu, dengan rambutnya yang baru di potong sebahu ia lebih terlihat segar dan lebih muda lima tahun. Ia berlari berhamburan ke pelukanku seperti anak kecil, aku memeluknya dengan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu, padahal aku baru saja bertemu dengannya seminggu yang lalu.

"Gimana rasanya di pingit?" tanyanya lalu meninju lenganku.
"Aw, sakit yaa, pukulan elo masih kenceng juga, gue aja takut sama elo gimana cowok yang lain Khloe?" aku mengurut lenganku dan melangkah masuk ke dalam rumah.

"Bu, anak hilangnya udah datang nih" teriak Khloe 
"Enak aja lo, anak hilang apaan?"
"Loh emang iya kan, elo bentar lagi hilang dari hidup gue dan ibu, udah punya hidup sendiri, bahagia yang elo bangun yang semoga aja bahagia" jawab Khloe ketus

Aku kemudian bersamalaman dengan ibunya Khloe, menemaninya di dapur, sementara Khloe sudah duduk di meja makan sambil main handphone.

"Anak hilangnya udah datang, anak sendirinya di lupain, yah emang semuanya kayak gitu aja, ga pernah ngerti" ketus Khloe

Aku dan Ibunya Khloe kemudian melotot kebingungan ke arah Khloe.

"Kenapa bu, anaknya? PMS lagi, bukan awal bulan kan ini bu?"
Ibu Khloe lalu tertawa, "ga tau tuh Ian, coba deh di ajak ngobrol dulu"

Aku kemudian duduk di dekat Khloe, sambil menunggu ibu menyiapkan makanan, aku mengambil tempe yang sudah ada di atas meja dan memakannya. Khloe tetap diam, sibuk dengan handphonenya, membuka social media.

Makanan semuanya sudah tersedia di atas meja, ibu Khloe mengambil piring dan kemudian menyendoki nasi dan di berikan kepada kami. Kami masih diam-diaman, sesekali Khloe menghela nafas, lalu membuangnya dengan keras. Insting sahabatku berkata ini ada yang salah dan tidak boleh di biarkan berlama-lama.

Aku pun bertanya, "Lo kenapa sih Khloe, kayak beda banget hari ini, padahal tadi di depan kayak senyam senyum aja lo meluk gue?"

Khloe malah menunduk, dan menjawab dengan suara pelan agar ibunya tidak mendengar, "lo mau tau aja atau mau tau banget?"

"Yee, masih bercanda aja nih si bocah. Kenapa sih, kasih tau dong". Kataku

"Ya udah, gue kasih tau ya", kata Khloe "lo mau tau kan gue kenapa kan?"

Aku menegak air putih sambil menunggu Khloe berbicara, "Iya, buruan deh ngomong, daripada gue pulang dengan penasaran".

"Gue selama ini punya rasa sama lo, gue sayang sama lo Ian," kata Khloe

"UHUUKKKKKKKKK", air putih yang baru saja aku teguk seperti ingin keluar dari mulutku

"Ian, kenapa?," seru ibunya Khloe, panik. Aku buru-buru mengambil tissue dan membersihkan mulutku

"Gak, apa-apa bu", jawabku singkat.

"Kok sampai tersedak gitu sih, hati hati dong ah" kata Khloe, lalu mengusap punggungku

Aku mencoba menenangkan diriku.

"Tadi lo bilang apa? gue kayaknya dengernya kurang jelas", aku meneguk air putih, lagi.

"Gue bilang gue sayang sama lo", jelas Khloe, lagi.

"UHUUUKKKKKKK", air putih yang baru saja ku teguk rasanya seperti ada tulang di dalamnya

"Ian, kenapa, astaga kamu" Ibunya Khloe bertanya

"Ng, nganu bu tadi aku kegigit cabe", aku mencari alasan

Ibu Khloe panik, "apa tadi ibu motongin cabenya kegedean ya?", dia mengaduk-ngaduk sop dagingnya, mencari-cari cabainya dan memisahkannya ke piring kosong

Aku melotot ke arah Khloe, sembari berbisik, "Lo sakit? bercanda lo ga lucu ya"

"Emang muka gue kelihatannya bercanda kali ini?", tanya Khloe. Aku lebih melotot, sorot mataku semakin tajam, "Lo udah gila? mana bisa sih lo sayang sama gue, hah? lo ga boleh punya rasa ke gue Khloe, kita udah ngebahas ini sedari dulu, sedari awal gue dekat sama lo, sedari awal banget, lo apa-apaan sih kayak gini sekarang?"

"Iya, Ian tapi itu kan dulu, bukan sekarang"

"Hah?"

"Gue begini sekarang, jujur ngomong ke lo", Khloe berbicara sambil mengaduk-ngaduk kuah sop dagingnya

"Kenapa sih lo kayak gini? kenapa lo bisa jadi punya rasa ke gue, ya Tuhan Khloe, lo salah banget" 

"Ian", Khloe menarik nafas dalam, "Gue tuh ga bisa ngatur hati gue harus berlabuh di siapa, lo sendiri yang bilang hati sama otak itu ga pernah bisa sinkron kalau udah jatuh cinta, yah hati gue milihnya elo, gimana dong?"

"Gimana dong apanya?"

"Yah, gimana dong?"

"Khloe, gue ga tau. Sakit kepala gue. Lo ga bisa nanya ke gue gimana, gue aja kaget. Lo ga bisa kayak gini Khloe, lo ga bisa nanya gue gimana dong. Yang punya perasaan itu elo bukan gue, urusin sendiri Khloe, gue pusing banget", Aku mendengus kesal.

"Yah iya makanya gue bilang ke elo sekarang"

"Yah tapi ga di saat gue udah mau nikah gini Khloe, ga di depan ibu lo juga"

"Ibu udah tau kok, dia udah ngerti banget anaknya sebenarnya gimana"

Aku menggeleng, "Gak gini Khloe"

"Yah maaf, gue ga nemu di internet cara uninstall perasaan ke sahabat sendiri gimana, sorry"

Aku mendorong kursiku, meminta izin dari ibunya Khloe untuk ke toilet sebentar.

Aku berjalan dan menggeleng, memberi kode kepada Khloe untuk mengikutiku.

***

Sekarang aku dan Khloe sudah berada di halaman rumahnya, berdiri berhadapan. Masih kaget dan marah, kepalaku terasa berat setelah mendengar apa yang baru saja Khloe katakan. "Khloe beneran deh, sekarang lo ngomong deh maksud lo ngomong gitu apa? apa yang lo mau sih?"

"Gue cuma mau lo tau, udah gitu doang"

"AHHHH KHLOE" Aku berteriak, menggaruk kepalaku 

"Kenapa? Gue salah?"

"Salah, lo salah. Lo tau ini ga benar, sejak kapan hah?"

"Udah lama. Dari tiga tahun lalu, dari semenjak lo datang ke rumah, setengah sadar, kita duduk di teras dan lo bilang lo udah ngubur dalam-dalam perasaan lo ke dia, dia yang sekarang akan jadi istri lo. Lalu perasaan itu ada tiba-tiba, Ian. Perasaan untuk membuat lo nyaman, dari saat itu gue berjanji buat diri sendiri buat selalu bahagiain lo, selalu ada sama sama lo. Sejak saat itu, gue merasa gue bisa punya kesempatan buat memasuki hati lo, hati yang selama ini lo pagari, yang ga lo biarin satu orang pun di dunia ini buat masuk ke situ. Dan gue yakin cuma gue yang paling ngertiin lo sejak itu, cukup buat gue, cukup tiga tahun buat ngertiin lo dan nemenin lo."

"Khloe, astaga, Tuhan"

"Padahal gue salah, saat gue yakin gue yang menangin hati lo karena selalu gue yang menjadi prioritas lo, walaupun lo brengsek ke semua cewek, lo tidurin dan ninggalin, tapi gue tau lo ga akan kayak gitu ke orang yang lo sayang dan gue cukup yakin gue salah satu orang itu, walaupun gue menebak-nebak selama ini kemana hati lo akan berlabuh, tapi gue ternyata ga cukup pintar dan lo cukup lihai menyembunyikan rasa sakit yang lo pupuk menjadi rindu yang kemudian membuat lo kembali ke dia, jahat banget kan semesta yang selalu lo bilang cantik kalau sore ini?"

Hening.

Khloe menarik tanganku, dan meletakannya di dadanya.

"Lo tau selama ini gue adalah perempuan yang paling bahagia menjadi prioritas lo, gue selalu nunggu telfon dari lo, walaupun semua itu cerita tentang cewek yang ini besoknya cewek yang lain lagi, gue cemburu tapi gue mendam, tau ga lo? sakit gue mendam sendiri Ian", tangannya mulai berkeringat, suaranya menjadi parau, dan aku hanya terdiam melihat matanya

Aku menarik tanganku, aku mengusap-usap wajahku frustasi. "Lo gila Khloe? ini yang selama ini kita jaga, persahabatan kita, sesuatu yang kita punya, dan gue ga tau apa-apa soal perasaan lo selama ini"

"Emang ga enak Ian, jadi orang yang sendirian berjuang dan tau kalau cinta lo sendiri akan bertepuk sebelah tangan", Khloe terduduk, dia masih terisak

"Berdiri deh, jangan kayak gini, ga enak di liat"

"Lo ga nyadar kan, kenapa setiap lo balik dari Denpasar ke Amerta, gue selalu sempatin buat ngejemput lo, terus gue meluk lo kencang banget, gue bilang gue rindu sama lo"

"Yah itu kan normal, kayak biasanya yang kita lakuin ga sih?" Kataku, jujur.

Khloe menggeleng.

Aku baru sadar kalau kadang perhatian kecil, terkadang bisa di salah artikan oleh seseorang. Dan orang yang sudah jatuh cinta terkadang ia menjadi bodoh. Ah, cinta buta sialan.

"Pantesan semenjak gue mulai ngobrol yang serius-serius, nanyain lo soal ini itu, gimana caranya ngelamar cewek, cewek tuh maunya kayak gimana, lo jadinya ga terlalu bersemangat dan ketus banget jawaban lo"

"Iya, karena gue ga suka ada orang lain selain gue Ian, ngerti ga sih lo?" Khloe setengah berteriak.

"Terus lo mau gimana? Gue udahin semua ini sama Indira? terus gue ngomong ke dia, kalau sorry Ra, selama ini ternyata aku ga bisa serius sama kamu, lalu gue datang ke hadapan lo dan gue bilang Khloe, iya gue juga punya perasaan yang sama ke lo, gue juga selama ini sayang sama lo. Ga mungkin Khloe" 

"Lo jujur deh sama gue sekarang, lo bahagia emang?" tanya Khloe dengan sorot mata yang sangat tajam

"Iya, gue bahagia. Gue bahagia milikin Indira, gue yakin dia akan dan bisa ngerawat gue, lo ga bisa menentukan bahagia gue kemana harus bersemayam, gue yang nentuin dan ini gue udah nentuin, udah gue bulatin niat, tinggal di sahkan dimata hukum dan agama"

Khloe terisak.

Hening.

"Khloe, gue pastiin gue ga akan bisa sayang sama lo. Gue sayang sama lo tapi ga akan pernah bisa lebih dari sayangnya seorang sahabat, ga akan Khloe", kali ini aku yang terjongkok.

Aku sekarang bingung harus ngomong apa. Aku menggaruk-garuk kepalaku.

Khloe ikutan jongkok, "Gue salah Ian, gue salah harusnya ga gue ungkapin sekarang mungkin dari dulu, tapi gue ga punya nyali. Sekarang gue udah kepeleset jauh, jauh banget. Tapi gue ga mau kalau lama gue mendam ini, gue yang sakit, yang jadi momok buat gue sendiri dan gue nyesal ga pernah ngomong ini ke lo. Ini bukan zaman bapak ibu kita lagi yang cewek selalu nunggu cowok buat ngungkapin perasaannya kan? gue selama ini nunggu itu, tapi ga ada dan ga akan pernah ada lagi, gue nunggu sia-sia karena gue ga membaca dengan baik apa sebenarnya yang hati lo mau, bahkan gue terlena dengan semua kenyamanan yang lo kasih ke gue. Gue ga mau gue nanti bertanya-tanya terus 'apa yang terjadi kalau gue ga ungkapin perasaan gue ke Ian?', gue ga mau kita menua dengan bertanya-tanya, gue ga mau kalau one day gue nikah sama siapalah dia itu, ketemu dimana, kalau kita ketemu gue cuma nanyain kabar lo doang, anak lo udah bisa apa, istri lo udah ngapain aja, ga mau gitu Ian. Gue salah, gue tau."

"Ini yang terjadi Khloe, ini sekarang yang terjadi. Perasaan lo bertepuk sebelah tangan, menepuk angin." Aku memperagakannya. "Gue udah punya Indira, pasangan gue yang Tuhan kasih yang gue yakinin dan atas izin Tuhan akan gue jaga dan ngebahagiain gue, yang ngertiin gue banget, dia baik banget, dia bisa buat gue nyaman, dia yang selama ini gue cari. Dan ini gak adil kalau sampai dia tau, kalau sahabat calon suaminya sendiri ternyata selama ini nyimpan perasaannya ke calon suaminya, kalau sampai dia tau gimana Khloe? haduh, kasihan Indira"

"Udah tau," jawab Khloe singkat

"HAH?"

"Iya, Indira udah tau"

"Tau darimana, gila lo?"

"Gue yang ngasih tau. Gue yang ngasih tau waktu dia mampir ke restaurant ibu, gue ajak dia ngobrol"

Khloe dan Indira sudah akrab kembali, beberapa kali mereka sering keluar berdua. 

"Terus?" tanyaku tegas

"Dia nanya, lo tau apa ga?, dia cewek yang benar-benar percaya sama lo, dia bilang lo tau apa yang lo mesti lakuin, dia cuma bilang ke gue kalau ini tuh ga sehat. Gue bilang iya, gue tau kok, makanya gue mau ngomong nanti." 

"Terus apa kata dia?"

"Dia cuma bilang, kita sama-sama wanita, kita tau kan sakitnya di kecewakan kayak gimana, dan di khianati itu sakit sekali, terus kata gue, iya gue cuma perlu jujur doang, dan akan pergi dari hidup kalian kok", jelas Khloe.

"Kenapa lo bilang ke dia?"

"Karena gue ga kuat Ian, beneran ga kuat. Gue cuma sakit banget, ngeliat lo udah menemukan bahagia lo, dan lo akan ninggalin gue padahal gue disini ngarepin lo banget. Gue ga bisa kalau liat kalian jalan berdua, hal-hal yang biasanya kita lakuin bareng tapi sekarang lo lakuinnya sama yang lain bukan sama gue, dan gue benci itu Ian." 

Khloe menghela napas, lalu berdiri, dia menggeleng "Gue yang bodoh, gue tau perasaan gue ga akan mungkin terbalas tapi gue tetap biarin aja, gue ga bisa ngelak kalau gue emang suka diperlakukan manis sama lo"

Aku berdiri, menatap Khloe yang sekarang berada hanya sekitar dua langkah dari tempatku berdiri. 

Ibunya Khloe keluar, entah dari kapan dia berdiri disitu, apakah dia mendengar semua yang kami bicarakan atau tidak aku tidak tau dengan jelas. Ia menatap kami berdua dengan mata yang iba, mata iba seorang ibu yang sayang sekali kepada anaknya. Saat tersadar keberadaannya sudah diketahui, ia perlahan melangkahkan kaki menuju ke tempat kami.

Dia memegang tanganku, mengusap punggung tanganku, "Ian, tetaplah kamu pada pendirianmu, cinta ada memang karena terbiasa, kamu tidak bisa melarang cinta itu untuk tumbuh, ia seperti tanaman perdu tumbuh liar dimana saja ia ingin, di hati siapa saja. Kamu benar, tindakanmu tidak salah, kamu memegang prinsipmu, itu namanya kesetiaan dan prinsip seorang lelaki."

Ibu Khloe menghela napas, suasana menjadi hening.

"Kalian berdua sudah dewasa, kalian berdua sudah besar. Selesaikan semuanya dengan baik-baik, Khloe hanya hilang arah. Ah kalian berdua, masalah sepele saja kok di ributkan besar-besaran", ibu Khloe pun mengusap pundak kami berdua dan masuk ke dalam rumah.

Hening.

Yang terdengar hanya kicauan burung, hari sudah hampir sore. Ponselku bergetar. Indira menelpon. 

"Hallo sayang, aku ini..... Ng, bentar lagi udah pulang kok.... Jadi kok, nanti aku kabarin ibu ya buat nemenin kamu ya. Nanti aku kabarin kalau udah balik.... Bye, sayang, love you"

"Lo pulang aja udah ya, kita lagi ga searah"

"Iya, gue mau pulang, kasihan Indira dari tadi nungguin"

"Lo tetap datang kan ke nikahan gue?"

"Gue usahain datang, mungkin itu juga jadi pertemuan terakhir kita, Indira tau perasaan gue ke lo, gue cewek dia juga cewek, gue ga mau jadi ga adil, yang paling adil adalah gue yang pergi dari kehidupan kalian, gue mending kehilangan sahabat daripada gue mati nanti seumur hidup gue cuma diingat sama lo sebagai orang yang merebut kebahagiaan lo", matanya menatapku nanar.

Aku melangkah ke arah Khloe, berdiri di depannya, kami sekarang hanya berjarak satu jengkal, aku menatap matanya, aku menepuk punggungnya lalu memeluknya, "maafin gue ya, semoga lo dapat yang terbaik, dan sorry itu bukan gue, doa gue selalu buat lo kok Khloe", aku melepas pelukanku dan pergi.

Itu pertemuan dan percakapan terakhir kami.

***

Aku kemudian di sibukkan dengan persiapan pernikahanku yang semakin hari semakin dekat. Kami telah membahas banyak hal, sampai kemana nanti kami akan honeymoon dan akan punya anak berapa nanti.

Aku belum membahas masalahku dengan Khloe ke Indira, aku tidak tega menganggu dan menghancurkan moodnya dengan cerita cerita seperti ini.

***

Sabtu, Agustus 2025 - Khayangan Estate, Uluwatu, Bali

Aku mengikrarkan janji suci untuk hidup bersama dalam segala keadaanku, dalam sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, senang ataupun susah, di hadapan Tuhan, umatNya, orang tua, keluarga dan para sahabat, untuk berjanji menjaga dan mencintai Indira Kirana Larasati sampai maut yang memisahkan.

Selesai pemberkatan, kami pun lanjut resepsi. Belum sempat kami membicarakan banyak hal, karena memang sangat di sibukkan dengan datangnya para tamu, kami harus menyapa mereka satu per satu. Kami bahkan belum sempat duduk sedari tadi. 

Kami tidak membuat pesta yang sangat besar, hanya sederhana dan yang kami undang hanya kerabat dekat dan keluarga. Indira mau agar kami intim, dan terus diingat moment hidup yang ini.

Kami baru duduk saat MC mempersilahkan kami berdua untuk duduk, "kita beri dulu kesempatan kepada kedua mempelai untuk duduk sebentar, ngobrol berdua, karena dari tadi saya liat mereka berdua seliweran kesana dan kemari, silahkan bapak dan ibu tamu undangan melanjutkan acara makan makannya, menikmati kebahagiaan malam ini", kami berdua saling menatap lantas ketawa, kami terlalu bersemangat untuk hari ini, sampai lupa kalau kami berdua belum makan.

Indira sangat cantik, ia terlihat anggun dengan gaun putih gadingnya, make upnya terlihat natural, dia memakai softlens bening sehingga warna bola mata cokelatnya masih terlihat jelas, ah mata itu, yang selalu menenangkanku dalam segala situasi. Ia tersenyum malu-malu ketika mengetahui aku sedang diam-diam memperhatikannya, dia masih tetap Indira yang aku kenal sewaktu masih SMA, dia yang malu-malu ketika di puji cantik dan akan memerah pipinya ketika di tatap dalam waktu lama.

Ia meneguk wine dari gelasnya, lalu menatapku "Khloe dimana?"

"Entahlah, aku belum melihatnya dari tadi"

"Oh baiklah, sebentar lagi dia akan speech bukan?"

"Harusnya begitu sayang. Anyway, aku mau ngomong sayang"

"Soal Khloe?"

"Iya sayang"

"Dia udah bilang ke kamu?"

Indira meneguk lagi wine, lalu menatapku

"Udah, tiga minggu lalu"

"Syukurlah"

"Iya sayang, aku bilang tidak ke dia"

"Aku tau kok sayang"

"Hah?"

"Iya sayang, kalau gak kamu gak akan ada disini sekarang, dan semua ini gak akan terjadi"

Aku melihat ke arah Indira, dia masih tetap Indira yang aku kagumi jiwanya sedari dulu. Aku berdiri dan memeluknya. 

"Dance with me?"

"Hahaha.... Sure"

Lalu aku menariknya ke tengah-tengah kerumunan orang, mereka seperti mengerti dan memberi kami ruang. 

Lagu Endless lovenya Lionel Ritchie dan Diana Ross yang dibawakan oleh sepupu Indira yang tiba-tiba naik ke panggung, aku tidak melihat jelas karena lampu sorot menghalangi aku untuk menerawang. Tapi aku mengenal suara perempuan yang bersama sepupunya Indira ini. Itu suara Khloe.

Aku mendengar kabar dari ibuku setelah selesai berdansa dan duduk bersama Indira, kata ibuku Khloe tidak membawa kertas speechnya dan dia tidak mempersiapkannya di handphone.

Suasana masih ramai, para tamu undangan masih menikmati acaranya, beberapa berdiri di dekat panggung dan menari, Khloe memang memiliki suara yang bagus, tidak diragukan lagi.

Lalu tiba tiba, Khloe bilang akan menyanyikan sebuah lagu khusus kepada kami berdua, dan meminta kami untuk berdansa. Ia menyanyikan lagu dari Bryan Adams - Everything I do.

"Kalau kamu ga mau, gak apa-apa, kita bisa duduk disini saja", kataku.

"Gak, gak apa-apa, kita harus berdansa, malam ini adalah punya kita, dan dia hanya bisa melakukan hal manis tersirat seperti ini hanya sampai hari ini dan malam ini, karena mulai besok dan seterusnya hanya akan ada aku, aku yang ada di setiap pagimu ketika bangun dan malammu sebelum kamu tidur,"

Indira berdiri dan menarik tanganku, aku menariknya ke dalam pelukanku, lalu menghadiainya sebuah kecupan di bibir. Kami pun berjalan ke tengah, dan berdansa.

Aku tersenyum lebar, memeluk Indira dan tangannya menuntunku untuk bergerak mengikuti irama, berkali-kali aku menciumnya, dia menyandarkan kepalanya di pundakku, "Aku sayang sama kamu, kita kayak gini terus ya sampai nanti kita tua dan ga bisa ngapa-ngapain lagi, tetap cinta sama aku ya, tetap sehat dan kuat untukku dan anak-anak kita ya Ian" Indira berbisik, lalu menatap mataku. Mataku terasa panas, air mata seperti akan keluar dari mataku, aku mengangguk dan merapatkan pelukanku, lalu berbisik "I love you Indira, and I always do".

Khloe bernyanyi dengan nada-nada indah, kami tidak sendirian berdansa. Beberapa pasangan juga ikut berdansa. Malam ini aku akan mengenangnya sebagai satu dari malam-malam terbaikku, akan ku catat dalam buku kehidupanku dengan catatan kaki, untuk menjaga dengan sekuat tenagaku wanita yang sedang ada di dalam pelukanku ini. Indira.

"Aku tidak pernah menyangka, bisa ada disini denganmu. Melihat perjuanganku untuk memenangkan hati orangtuamu kalau aku bisa dan mampu, mengusahakanmu sedari aku masih belum punya apa-apa, dan terus dan tetap mengusahakanmu, karena kebahagiaanmu adalah prioritas utamaku. Aku sayang kamu, Ra" Aku melihatnya lebih dalam.

"Thankyou for choosing me, Ian. I love you and I always do", Indira sedikit berjinjit dan menciumi bibirku.

Sayup-sayup masih terdengar suara Khloe.
Kami kemudian berhenti berdansa, dan menikmati Khloe bernyanyi. Khloe memegang erat mikrofon, aku memegang tangan Indira dengan erat.

Terkadang hidup memang tidak selalu punya ending yang sama seperti yang kita mau, semesta ini memang senang bercanda, tapi ia tau yang terbaik selalu ia sediakan.

Canggu, Bali - 2017










Sabtu, 29 Agustus 2020

Mengunjungi Makam Ibu

Aku mencoba mengeluarkan beberapa ingatan kecil dari tumpukan buku yang belum tuntas aku baca di perpustakan kepalaku. Aku melihat catatan kecil ibu, catatan kecil yang ia tulis dengan tangannya sendiri detail ceritanya.

Ketika usiaku 14, aku pulang dari sekolah dengan sangat kesal karena aku dijaili, aku benci karena mereka menggodaku dengan seorang lelaki di kelas sebelah, katanya lelaki itu cinta, lelaki itu tiga tahun lebih tua dari aku. Lalu ibu tertawa di meja makan, itu kali pertama aku melihat cinta ditertawakan dengan sangat lebar. Setelah tawanya ia pelankan, aku yang masih memasang wajah cemberut di ujung meja makan, sembari tersenyum ringkas ibu bilang tertawalah karena cinta itu adalah bahagia, janganlah kamu terlalu banyak memikirkannya. 

Ibu adalah seorang yang sangat pengertian dan lembut hatinya, manis tutur kata dan perbuatannya. Ibu selalu bisa menenangkan suasana rumah yang sedang tidak baik-baik saja, ibu seperti penyimbang dan juga penghubung. Ibu adalah perempuan yang tau persis apa yang harus ia lakukan untuk berdiri menjadi tiang doa untuk rumah tangganya. Ibu punya pundak yang begitu kuat, untuk kami bertiga bersandar dan banyak orang diluar sana. Ibu tidak pernah mengeluh ketika bapak hanya pulang dengan uang seratus ribu rupiah ketika itu, ibu juga tidak menolak ketika bapak bilang hendak membuat kebun sayur mayur di depan rumah untuk menyambung hidup kami semua bahkan ia selalu membantu ketika tugasnya mengurus kami sudah selesai ia lakukan. Ibu tidak pernah berdebat soal siapa harus apa, atau siapa yang melakukan apa, sebab sebelum ayah dan ibu menikah dan melahirkan serta membesarkan kami mereka sepakat untuk menjadikan kami manusia yang bertindak bukan bertanduk, mereka menamkan pohon kemanusiaan di dalam dada kami.

Kuatku tidak cukup membuat ibu untuk tinggal lebih lama, doaku bahkan sudah kencang sekali tapi Pencipta seperti tidak mendengar, tepat disaat masih ada sisa sisa bau belerang di kotaku bekas kembang api dinyalakan untuk menyambut tahun baru ibuku menutup buku ceritanya di dunia. Sebelum ibu meninggal aku seperti diberi tanda, ia mengunjungiku dalam mimpiku, di mimpiku ibuku tertawa ketika peti yang berisi mayat bapak sampai di rumah, adik memahari ibu, membentaknya berulang kali tapi tetap saja ibu tertawa. Aku lalu menelfon ibu setelah bangun, mimpi itu tidak baik, sebab kata orang dulu-dulu kalau memimpikan seseorang yang tertawa saat sedang dalam suasana sedih itu tidak baik, seperti sebuah kelakar. Namun, tepat saat tahun baru tujuh tahun yang lalu, kelakar itu menjadi nyata.

Ibu meninggalkanku sesaat ketika ia mengajarkanku untuk melihat sisi lain dari cinta, ketika ada penolakan terhadap beberapa orang yang ia anggap mempunyai perasaan yang lebih dari teman kepadaku. Lalu, aku menjadi orang yang batu, dengan pemikiranku bahwa ibuku belum mengenalnya saja. Dan, aku terlalu keras kepala untuk tidak mendengarkan apa kata ibu, aku terlena dalam pikirku sendiri, nyatanya orang tua itu tau lebih banyak bahkan tentang dengan siapa anaknya harus bersama.

Ibu adalah oase di tengah rumah. Saat ibu tidak ada, beberapa sudut rumah menjadi kering dan hilang arah. Beberapa kali seperti badai gurun yang datang, menyapu pasir gurun dan membawa debu yang menyakitkan mata. Terkadang malam menjadi sangat singkat karena bapak harus bekerja, terkadang malam semakin panjang karena kami menangis di kamar masing-masing ketika sama-sama menjadi kera yang terus berteriak menyalahkan satu dengan yang lain. 

Tujuh tahun semenjak ibu tanggal, bapak tetap tinggal menghidupi kami di rumah yang kalian bangun bersama, takdir memaksa bapak untuk bekerja siang dan malam lalu kembali ke rumah dengan tubuh yang terus mengecil, bapak semakin pandai menyakiti hati wanita dan wanita-wanita itu seperti sangat menaruh harapan besar kepadanya, padahal yang aku tau pasti mereka tidak bisa menyayingimu. Tapi, bapak tetaplah orang baik, hanya saja mungkin dulu semasa kalian pacaran bapak tidak sempat merasakan hal itu, karena terlalu fokus untuk membuatmu bahagia dan menyusun masa depan denganmu. Ah. Terkadang aku dibuat pusing olehnya, terkadang aku muak menjadi manusia yang pura-pura bodoh, terkadang aku juga menjadi anak yang pembangkang. 

Aku lalu berpikir seandainya ibu masih ada, mungkin bapak tidak akan terlalu seperti ini. Kami akan baik-baik saja, dan kami akan terus bahagia walau sesederhana duduk di balkon rumah dan melihat sore. Dalam pikiranku yang kalang kabut, ingin rasanya aku berlari ke makam ibu dan menggali kuburnya, namun cepat-cepat aku sadari yang akan ku dapatkan hanyalah tulang belulang. 

Aku ingin bertanya kepada ibu, darimana aku bisa menemukan hati yang begitu lapang untuk menerima dan memaafkan, lalu merangkul kembali. Mengapa aku tidak bisa melakukan itu, karena setiap kali kabar burung itu sampai di telingaku, hariku akan berubah menjadi kelabu, aku akan menjadi monster yang tidak bisa berlemah lembut kepada siapapun. Betapa ibu sungguh tegar dan memahami betul bahwa keutuhan rumah tangga adalah yang utama, bahwa anak anak adalah alasan ia terus berjuang. Ibu, aku ingin mencuri hatimu walau itu hanya secuil.

Ibu, satu-satunya yang ku sesali selepas pergimu adalah aku tidak belajar terlalu banyak tentang hidup yang seperti bajingan ini, mereka seumpama landak yang tidak punya teman. Aku tak cukup membaca peta agar tidak tersesat saat hidup memilih untuk mengubah arah mata angin. Hingga kini, aku masih terus memikirkan kalimatmu tempo hari, bahwa cinta sebaiknya ditertawakan saja, apakah itu semacam mantra penenang bagimu?

Tapi ibu, bapak masih suamimu yang saban subuh bangun menemui sang pencipta di syafaatnya, namun kini bapak punya dua doa, satu doa menyentuh kami doa yang lainnya hendak mendaki tangga langit menemuimu. Ibu, bapak semakin tua dan renta, raut wajahnya mulai mengkerut, sinar matanya seperti meredup selepas pergimu, rambutnya memilih untuk menjadi putih, maka izinkanlah aku anak perempuanmu satu-satunya menggantikan tugasmu, menjadi pohon mangga di dalam rumah, yang darinya diberikan kesejukan, dari rindangnya kau temukan tempat berteduh dan dari buahnya kau temukan rasa rasa kehidupan, asam dan manis, katamu tempo hari.

Hari sudah sore, sebentar lagi gelap datang, aku meletakan seikat bunga mawar biru kesukaanmu, seraya mencium nisanmu, lalu kembali pulang mencium pipi ayah beribu-ribu, seperti yang ibu lakukan.


Selamat ulang tahun ke 56 ibu, 2 Agustusmu akan ku kenang nanti sebagai hari yang baik.


Selasa, 04 Agustus 2020

Dalam Patahku, Tumbuhmu

Semalam tadi kita bercerita banyak, tentang banyak hal yang mungkin saja terjadi di hari depan. Kamu dan masa depanmu, aku dan masa depanku, lalu beberapa kali kita membicarakan hal tentang kita. 
Ah,
Kita?
Sesuatu yang masih ku raba-raba lagi tentang maknanya, yang masih abu-abu kelihatannya, tapi aku iyakan saja, beberapa aku berikan aminku karena mungkin aku pun menginginkannya, tapi sungguh tidak terlalu. 

Dulu aku pernah menaruh harap sangat besar kepada banyak hal tentang kita, lalu kemudian buyar dan hilang begitu saja.
Entah apa yang harus ku jelaskan tentang bagaimana caranya semesta mematahkan hatiku sekali lagi.

Tentang kisahku yang kemarin, aku sedih. Tentu saja akan sedih, sekian lama terjalin akhirnya harus pisah juga. Tapi sedihku hanya semalam, ketika kami bertengkar, mungkin aku menangis karena aku yang membaca chat yang begitu kasar atau karena aku kehilangan, tapi kemudian di besok harinya aku bahagia sampai akhirnya kamu datang memperkenalkan dirimu lagi kepadaku.

Aku mengenal orang ini tapi dulu sekali, orang yang datang membawa dirinya untukku kenal lagi. Yang ia bawa adalah dirinya sendiri, hatinya yang sudah tidak berbentuk, isi kepalanya yang begitu absrud, beberapa keyakinan dan kenangan serta rindu. 

Orang ini adalah seseorang yang begitu mematahkan hatiku, membuatku menjadi pembenci yang jahat tapi terkadang ia membuatku menjadi perindu yang payah. Aku pikir dulu itu, tujuh tahun yang lalu hatiku telah membereskan banyak hal dengannya, semua tentangnya sudah tidak ada tapi rasanya hatiku tidak mendengarkan apa yang otakku perintahkan, diam-diam ia menyimpan beberapa potong tentangnya di sudut hati aku menyimpan banyak hal, yang biasanya hanya aku sendiri yang aku kunjungi, tapi herannya dulu itu aku selalu mengunjungi bagian hati yang itu, hanya saja aku tidak menemukan adanya dia.
Dan orang ini adalah orang yang dengan polosnya aku bisa jatuh cinta kepadanya dan mengatakan hal ini, "Silahkan kamu pergi kemana saja, berlabuh di dermaga mana saja yang kamu suka, silahkan. Suatu hari nanti, kalau kamu sudah lelah berlabuh di banyak hati, pulanglah kesini, aku menunggumu disini". Aku mengatakan kepadanya berkali-kali dulu, yang diyakini banyak orang adalah doa yang di dengar Tuhan. 

Tiga tahun belakangan ini, aku percaya kalau Tuhan itu sungguh mendengar banyak doa kita, doa-doa yang bahkan secara tidak sengaja kita ucapkan, beberapa mimpi kita yang hanya sekedar bermimpi saja terkadang ia mencatatnya dan mengabulkannya. Yang aku percaya Ia adalah Bapa yang baik, yang tentu mau yang terbaik juga untuk anak-anakNya, jika menurutNya doa-doa kita, ucapan tidak sengaja kita dan mimpi kita itu adalah baik maka tidak mungkin juga Ia akan bekerja untuk membantu mewujudkannya.

Sore ⎼⎼ Waktu Indonesia Tentang kIta
"Aku hanya ingin kita tetap baik-baik saja dalam cinta yang baik". ⎼⎼ Katamu tempo hari.
Menjadikanmu teman berbagi, satu dari sekian banyak yang membuatmu kembali kepadaku.


 ***

Beri aku waktu untuk memahamimu, untuk mengerti tentangmu sekali lagi. Aku hanya tak ingin semua hal yang sudah kita usahakan ini berakhir sia-sia, terkadang aku hanya merasa belum terlalu mampu menerjemahkan inginmu, menafsir tuturmu dan menangkap kilatan cahaya di matamu. Hal-hal yang terkadang membuat aku menjadi salah dan kita akhirnya salah paham. 

Setelah mengumpulkan banyak percayaku yang tidak lagi sebanyak dulu kepadamu, dan menepis beberapa raguku kepadamu, jauh di lubuk hati yang terdalam aku tak ada niat sedikitpun untuk menyudahi semua yang baru kita mulai, sementara kita usahakan dan perjuangkan menjadi sia-sia. Aku ingin kita tetap menjadi kita. Dua orang yang terus belajar saling memahami dan memilih untuk bertahan tanpa pernah ingin pergi. 

"Kamu jangan marah-marah melulu, sesungguhnya semua ketidaksediaanmu membuatku semakin takut kehilanganmu, aku takut kita menjadi dua orang yang saling menyakiti, dan membunuh banyak harap atas semua hal yang sudah kita perjuangkan. Yang aku inginkan, kamu memberiku kesempatan untuk terus bersamamu. Jika salah menerpaku, semangatlah kamu untuk mengingatkanku dan menegurku. Jika yang terjadi itu kepadamu, terimalah dengan senang hati semua yang aku katakan kepadamu" ⎼⎼⎼ katamu biasanya ketika aku terlalu kesal dengan semua tingkahmu.

***

"Aku hanya ingin kita tetap baik-baik dalam cinta yang baik. Meski mungkin bukan pasangan yang terbaik, kita tidak seharusnya menjadikan kisah ini menjadi cerita yang buruk. Yakinkan dirimu, bahwa hanya aku manusia yang menginginkanmu. Pahami dengan hatimu, kita adalah dua orang yang terlahir untuk saling belajar memahami. Kita ada untuk menjaga apa saja yang kita jadikan rencana. Mari saling menguatkan, jika salah satu dari kita mulai lemah. Mari saling mengingatkan jika salah satu dari kita salah. Jangan menunda-nunda mengingatkan! tak ada gunanya membuat salah satu diantara kita menerka-nerka tanpa pernah sadar apa yang menjadi penyebab dari luka. Jika kamu merasa tersakiti, katakan saja dengan sejujurnya. Barangkali aku, tak menyadari apa yang aku perbuat adalah hal yang menjadikan hatimu sedih tak terlihat. Kamu adalah seseorang yang sangat lihai memendam rasa, bahkan aku yang begitu fasih mengenalmu tak mampu menembus tembokmu yang satu itu, jangan ya sayang, jangan memendam luka, sebab bisa saja tumbuh menjadi dendam dan melahirkan lagi luka. Aku pun ingin belajar dari hari ke hari. Aku ingin menjadikan semuanya menjadi lebih baik lagi. Menjadikanmu teman berbagi, juga bagian dari segala rencana yang ingin kuwujudkan nanti", katamu tempo hari. 

Dulu aku adalah orang yang selalu mengatakan ini, mencoba meyakinkan hati yang sangat sulit untuk ku yakinkan, hati yang selalu aku terka apa maksudnya dan bagaimana suasananya. Hati yang begitu keras tapi berhasil ku lembutkan di satu sisi, tidak semua. 

Aku tidak menyalahkan kisah kemarin, aku berterima kasih kepadanya karena darinya aku belajar menjadi seseorang yang seperti sekarang. Seseorang yang lebih banyak sabar dan tidak begitu berapi-api, dan termasuk menjadikan aku seseorang yang belajar lagi mencintai diri sendiri, hati yang kemarin aku jaga pun itu menjadikanku seseorang yang mencintai tidak seluruh, bukan berarti aku mencintai tidak sepenuhnya, tapi aku simpan setengah hatiku untuk tetap mencintai aku kalau-kalau di suatu hari nanti semesta kembali bercanda dengan hatiku, aku punya back up, mungkin untuk aku bisa tetap waras dan hidup.

***

Terima kasih untukmu, yang menjadi teman telfonku berjam-jam ketika larut malam. Ah kamu sangat pandai membuatku merindu. 
Menjadi diriku sendiri, walau malu-malu tapi terima kasih telah menjadi temanku berbagi setiap hari.
Semoga kita tetap begini, selamanya ya kita wahai manusia lama.



Rabu, 29 Juli 2020

Jika Terlalu Rindu

"Kenapa kamu bangunnya cepat?" tanyaku kemarin.
"Aku mimpiin kamu datang. Kamu ketok pintu kamar, terus aku nanya, siapa? terus kamu jawab, aku bee buka dong pintunya. Lalu aku bangun, ngeliatin pintu ternyata ga nyata, itu cuma mimpi" jawabmu di pesan whatsapp.
            "Mungkin kamu rindu bee".

Bee adalah sapaan manis kami, sedari dulu, kira-kira 10 tahun yang lalu, ketika kami yang awalnya hanya berteman lalu menjadi sahabat dan berakhir menjadi lebih dari sahabat. Lalu kami berjalan ke arah masing-masing, mendewasa dengan cara kami masing-masing, mengizinkan ego dan amarah mendominasi, memperkenalkan diri kepada dunia yang lain, mencintai hati yang lain dan berusaha untuk belajar melupakan dan mengikhlaskan, yang rasanya berhasil menurut kita tapi tidak dengan semesta. Ia senang bercanda memang, dengan banyak hati, termasuk kita berdua.

Dia satu dari sekian orang yang terlalu mengerti banyak hal, apa mungkin karena terlalu lama bersama dulu, entahlah. Bahkan di saat kembalinya, dia masih dengan packaging yang sama dengan isi yang sama persis tapi ada beberapa yang di hilangkan dan ditambahkan. Dia yang paling mengerti kalau aku adalah orang yang tidak bisa menata rindu, aku selalu bermasalah dengan rindu. Temu adalah salah satu obatnya, tapi sekarang tidak bisa seperti dulu yang bisa seenaknya pergi dan berjumpa, kita sekarang hidup di dunia yang sedang menghadapi pandemi besar, semuanya sebaiknya di rumah saja dan beberapa rindu harus di perbiasakan untuk disimpan sampai nanti, salah satunya juga kita.

Aku tau kalau terlalu rindu sering menjelma menjadi hal-hal yang tidak biasa. Semisal, ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba menghantui perihal kehilnganmu yang berlebihan, semacam trauma karena pernah kehilanganmu dulu. Kalau sudah begini, aku harus menenangkan diriku dengan lebih, semacam harus mempunyai banyak cara untuk meredakan rindu. Kalau terlalu rindu terkadang aku didatangi oleh mimpi-mimpi yang aneh, yang membuatku harus menghela nafas panjang ketika bangun. Rindu memang sering menjelma menjadi hal-hal yang menyeramkan. Aku selalu ingin menenangkan diri, mau tak mau aku harus, karena aku tau kalau rindu yang tidak terkendali terkadang bisa melukai hatiku sendiri, terkadang bisa menyebabkan kesalahpahaman dan berujung kamu dan aku akan berdiam diri masing-masing. Itulah kenapa, saat aku merindukanmu aku selalu ingin cepat cepat mengatakannya kepadamu, karena setidaknya dengan begitu aku merasa lega dan tenang walaupun rindu tak kunjung berkurang malah sebaliknya.

Jarak adalah satu-satunya hal yang harus kita kutuk. Tapi apa daya kita tak pernah bisa membuatnya benar-benar takluk. Aku bahkan tidak bisa berada di sampingmu sekarang, bahkan mungkin di saat hari bahagiamu nanti.

Saat rindu semakin bergelora, aku tidak bisa menembus angin, lalu berdiri di sampingmu saat kau ingin. Kalau sudah rindu begini, aku hanya bisa mengabarimu dan memendam perasaanku sendiri, terkadang aku takut menganggu harimu kalau aku terlalu rindu. Aku tau rindu itu akan menyesakan nafasku, apalagi kalau kamu sedang sibuk dengan duniamu tapi aku tidak bisa apa-apa saat kita sedang berjauhan begini. Aku harus juga paham kalau itu adalah tuntuan hidupmu, aku harus menerima kalau kamu juga punya dunia yang tidak selamanya tentang aku, walaupun terus aku yang katamu sedang diusahakan, aku tidak akan menyalahkanmu, hanya saja rindu ini terkadang membuat diriku menjadi tidak terkendali.

Satu hal yang aku mengerti, saat rindu sudah terlalu menumpuk di dada ini, aku hanya perlu meyakini, di sana kau pun juga merasakan hal yang sama. Kita hanya perlu berdoa sampai saatnya kita punya waktu untuk berjumpa.

Untuk saat ini biarkan rindu itu menjelama menjadi doa-doa yang terjalin, menjadi energi yang menumpuk di tubuh kita. Mengajari banyak hal tentang bagaimana tabah dalam mencintai, menjadi kuat untuk sebuah kebahagiaan, menjadi tekun dalam mengusahakan semua hal tentang kita. Rasanya akan lebih tenang ketika kita melakukan itu. Percayalah, segala yang dijalani dengan tabah akan membawa kita kepada kemenangan yang indah. Tetap jaga hatimu disana, ku jaga rinduku sepenuhnya untukmu.

Tetaplah mengadu pada Tuhan, ceritakan banyak hal tentang harimu kepadanya sebagai gantiku, berbagilah banyak hal dengannya ketika kita sudah tidak tahan untuk menunda pertemuan. Sebab semua yang terasa tak pernah ada jika tak ada yang mengaturnya. Kita serahkan semua kepada kepada Sang Maha Cinta.
Hanya itu yang bisa kita lakukan, saat jarak tak bisa kita bunuh seketika. Aku ingin kamu mengerti, disini aku pun juga sedang berjuang sepenuh hati. Sama seperti aku percaya; disana kamu juga demikian, berjuang untuk mempersiapkan segala rencana yang akan kita jalani nanti. Kalau rindu datang lagi kepada kita, menumpuk dan membuat kita merasa hampir gila. Berserahlah cinta, sebab tiada cinta tanpa keinginanNya.

Selasa, 21 Juli 2020

Lelaki, katamu.

"Aku hanyalah lelaki yang belajar untuk tumbuh lebih tinggi agar kelak bisa meneduhkanmu saat lelap dan dari teriknya matahari". 
Lawu Mt, 3265mdpl ⎼ Pendakianku tahun 2018

Percakapan malam ini dan beberapa kali diantara kita membuatku menyimpulkan sesuatu dari semua yang kamu katakan.

"Meski tak sehebat ayahmu, aku ingin mengimbangimu" katamu tempo hari.

Karena katamu lagi, mencintai perempuan tak akan pernah membuat seorang lelaki mampu menyaingi kasih sayang ayahnya. Karena bagaimana pun, anak perempuan tetapakan menjadikan ayah sebagai lelaki paling berharga dalam hidupnya. Itu hal yang sangat wajar, ayahnya adalah lelaki pertama dan dalam waktu panjang telah mengenalkan banyak hal kepadanya. Tentu tidak layak dibandingkan dengan seorang kekasih. Orang yang datang kemudian dalam hidup seorang perempuan. Lelaki yang belajar mengenal dan masih banyak belajar, masih banyak belum tahunya.

Lalu katamu lagi, aku memilihmu untuk belajar mendalami apa pun perihal kamu. Tidak mudah memang memahami perempuan, apalagi perempuan sepertimu. Yang kedalaman hatimu masih saja belum mampu kujangkau. Yang resahmu tak selalu mampu aku peka. Aku masihlah lelaki yang sepenuh hati ingin belajar banyak hal tentang kamu. Ingin tahu bagaimana putri kecil ayahnya tumbuh seperti sekarang ini. Bagaimana perlakuan ayah kepada anak gadisnya hingga bisa menjadi kekasihku hari ini. Aku ingin memahamimu sebagai lelaki yang terus belajar. Lelaki yang tak akan pernah melebihi ayahmu dalam hal mencintaimu. Namun, berharap suatu saat bisa sehebat ayahmu bagi anak-anakku.

Kepadamu perempuanku yang sungguh kusayangi. Bersedialah memberiku waktu memahamimu. Beri aku kesempatan lebih lama, agar mengerti bagaimana gadis kecil ayah yang dulu manja bisa menjadi perempuan dewasa. Barangkali tak banyak hal yang bisa kujanjikan kepadamu, selain belajar tetap setia dan bekerja keras demi kebahagiaan perempuanku. Sebab, semua kepastian hanyalah milik yang Mahakuasa. Kuasaku hanyalah berusaha dan menjagamu dengan doa-doa sembari terus mengusahakanmu untuk menjadi akhirku. ⎼ Katamu yakin sekali dengan matamu yang teduh menatapku.

Sambil mengenggam tanganku. Lalu menarikku dalam pelukanmu, kamu pun berkata dengan pelan, aku hanyalah lelaki yang belajar untuk tumbuh lebih tinggi. Agar kelak bisa meneduhkanmu saat lelap dan terik matahari. Meski tak pernah sehebat ayahmu. Namun, aku ingin selalu berusaha menjadi lelaki yang bisa mengimbangimu. Mampu mengimbangimu. Juga akan terus belajar menjadi lelaki yang baik bagimu, yang tau mengarahkanmu. Kelak, semoga niat ini dikabulkan yang Mahakuasa. Menjadi lelaki yang pertama kali kamu tatap saat terbangun di pagi buta, serta lelaki yang menjagamu terlelap di malam-malam yang lama.

***

Dan ketika hujan turun, kamu mengantarku sampai ke depan rumahku. Sambil lalumu, aku mengaminkan semua doamu, semoga tersemogakan semua usahamu dan usahaku, untuk selalu mengusahakan kita.

Berdoa saja, semesta memang suka bercanda untuk beberapa hal, tapi kadang ia bisa diajak untuk berkompromi dan bekerjasama jika bahagia yang selalu kita tuju, dan dengan doa yang tulus kita terus menitinya.

Aminku untuk semua doamu, doaku dan doa kita. Semoga sampai.

Sabtu, 18 Juli 2020

Puisi Lama

Senja waktu itu.
Dariku yang selalu mengaguminya.
Kau pasti mengenali senja yang mengunjungimu seusai berkutat dengan lelah seharian.
Kau menyusuri jalanan yang perlahan mulai ramai dan kedai kopi menata kursi serta meja.
Sebatang nikotin menemani langkahmu berjalan menuju ujung barat kotamu.
Aku pun mengenali rindu yang berjalan di belakang senja sore ini. Rindu itu tak bertuan. Rindu itu rapuh.
Aku menyusuri jalanan yang pekat oleh asap knalpot dan hanya menyesakkan dada.
Kau sudah sangat paham, bukan hati yang terluka tapi senja. Senja yang perlahan kau khianati mulai terekam dengan baik seiring dengan semakin memerahnya langit.Kau tak berdaya pada takdir. Kau menyerah pada jarak. Kau menyerah pada luka hingga ia dengan leluasa menyebar pada semua nadimu. 
Dan aku menyerah pada pertanyaan yang selamanya tak akan pernah ku dapatkan jawabannya. Aku melepas senja yang begitu merah dengan hati yang tak lagi lapang. Aku mundur teratur karena aku tak ingin melepas tangis seusai senja berpamitan.
Hati itu tak terluka hanya saja senja yang semakin memerah hingga berwarna jingga.

(Yang ku tulis pada sebuah buku tulis saat dulu aku mulai belajar merelakanmu).

Selasa, 07 Juli 2020

Repetisi Selasa Malam

Ada lima hal mengapa aku masih mencintaimu.
Aku memotretnya di Jogja,
lalu mengirimkannya kepada seseorang.

Untuk alasan ini saya memutuskan untuk masih mencintaimu,

Waktu, cukup adil rasanya menempatkan waktu sebagai alasan terpenting sampai saat ini aku masih mencintaimu, untuk segala luang yang kita buang demi sesuatu alasan, alasan yang kini telah sudah, namun waktu tak pernah cukup untuk sudah.

Senja, begitu banyak yang beda untuk merasa sama, tapi senja tentu saja sama pada benak kita, tak peduli seberapa sering kita melalui senja, senja tetap menggenggam kekaguman kita.
Setiap saat senja tiba, aku merasa tak ada yang pernah sudah antara kita.

Malam, banyak warna tentu pernah mengunjungi, tapi hitam selalu punya tempat tersendiri dalam dua pasang mata kita, hitam memang milik malam, seberapapun kita terbangun di pagi buta hanya malam kelak yang menentramkan resah, sialnya malam begitu pandai memanjangkan diri, malam tak pernah berkesudahan mengisahkan kita sekali lagi. Dan kita terlalu banyak menggantungkan rindu di ujung malam, ketika pelukanmu selalu ku bayangkan sebagai pengantar tidurku.

Mimpi, hal yang tak pernah dapat diterima sekaligus ditolak tentu saja mimpi, selalu saja ada celah dalam rapat pulas untuk mimpi hadir, dalam mimpi yang sekali dua merebutku kita tak ingin sudah, saat terbangun kehilangan menjadi doa yang tak pernah ku Aminkan.

Kenangan, biarlah kenangan menjadi penutup alasan ini, tak perlu lagi ku jelaskan, sebab di dalam kenangan kata tak ada bedanya dengan kita.