Sabtu, 18 Juli 2020

Puisi Lama

Senja waktu itu.
Dariku yang selalu mengaguminya.
Kau pasti mengenali senja yang mengunjungimu seusai berkutat dengan lelah seharian.
Kau menyusuri jalanan yang perlahan mulai ramai dan kedai kopi menata kursi serta meja.
Sebatang nikotin menemani langkahmu berjalan menuju ujung barat kotamu.
Aku pun mengenali rindu yang berjalan di belakang senja sore ini. Rindu itu tak bertuan. Rindu itu rapuh.
Aku menyusuri jalanan yang pekat oleh asap knalpot dan hanya menyesakkan dada.
Kau sudah sangat paham, bukan hati yang terluka tapi senja. Senja yang perlahan kau khianati mulai terekam dengan baik seiring dengan semakin memerahnya langit.Kau tak berdaya pada takdir. Kau menyerah pada jarak. Kau menyerah pada luka hingga ia dengan leluasa menyebar pada semua nadimu. 
Dan aku menyerah pada pertanyaan yang selamanya tak akan pernah ku dapatkan jawabannya. Aku melepas senja yang begitu merah dengan hati yang tak lagi lapang. Aku mundur teratur karena aku tak ingin melepas tangis seusai senja berpamitan.
Hati itu tak terluka hanya saja senja yang semakin memerah hingga berwarna jingga.

(Yang ku tulis pada sebuah buku tulis saat dulu aku mulai belajar merelakanmu).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar