Jumat, 16 November 2018

Surat untuk Ibu

Ku tujukan surat ini untuk Ibu.

Ibu, ingatkah kau dulu betapa aku akan merajuk dan menangis ketika aku kebagian ikan yang banyak hitamnya dari pada putihnya? aku pernah memuntahkan semua yang ada di mulutku saat aku merasakan seperti sesuatu yang aneh rasanya ada dimulutku, padahal semua makanan yang kamu buat adalah enak. Bahkan termasuk indomie kuah pake kornet. Lalu ibu pun bercerita kalau ibu juga tidak bisa memakan ikan komu namanya, tapi kata bapak ikan itu enak. Ibu bercerita kalau ibu akan menjadi merah dan sangat gatal hampir sekujur tubuh ibu. Kira-kira itu aku umur 6.
Lalu aku beranjak besar, aku masih terus diantar kemana saja. Ke sekolah, ke tempat les dan ke rumah teman. Lalu di suatu siang aku berteriak dari kamar mandi, aku pikir aku buang air besar di celana, karena celana dalamku tiba-tiba berwarna hitam dan aku pun tidak mengerti darimana dia datang, aku tidak merasa kalau aku sakit perut atau memakan sesuatu yang salah. Aku berteriak dan ibu datang. Ibu bertanya, kamu kenapa nak? aku pun menunjukan celana dalamku dan ibu tertawa. Aku kebingungan karena melihat wajah ibu. Aku masih ingat jelas wajah ibu yang tertawa melihat kebingunganku. Ibu memelukku dan ibu berbisik, kamu sudah besar nak. Ini namanya menstruasi, semua perempuan di dunia ini akan melewati hal seperti ini, dan ini normal. Ibu memelukku dan aku melihat mata ibu berkaca-kaca. Kira-kira itu aku umur 11.

Ibu senang sekali duduk di teras, memandangi sore dan bercerita dengan bapak. Aku selalu akan datang dan mengamburkan badanku ke dalam pelukan ibu. Bersandar di bahunya seperti anak bayi padahal aku sudah besar. Orang akan bertanya kepadaku, kenapa kamu senang sekali duduk di pangkuan ibu dan bapakmu? Ibu akan selalu menjawab, jika sudah dewasa nanti mungkin saja dia tidak akan datang lagi dan meminta untuk dipangku, dia tetap anak kecil perempuan kami. Ibu aku senang, ibu selalu manis dan aku tidak perlu menjelaskan banyak hal kepada dunia, karena ibu selalu tau bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka semua hal yang tidak perlu menurutku untuk dijelaskan kepada mereka.

Waktu SD kelas tiga, bapak memberikanku sebuah peta. Ibu memajangnya di lantai atas tempat kami belajar. Terkadang kalau ibu tidak pergi pelayanan, ibu akan mengajari kami dan menemani kami membuat tugas sekolah. Aku pernah berkata kepada ibu. Ibu bolehkan suatu hari nanti, aku berpetualang di tempat-tempat itu? Aku menunjuk kepada pulau-pulau bergaris hijau kuning yang terbentang diatas lautan berwarna biru. Ibu menjawabku, tentu saja jika kamu sudah besar nanti, kaki kaki dan langkah-langkahmu adalah milikmu, aku tidak pernah berhak untuk mengatur kemana kaki dan langkahmu kau buat.

Aku pernah bertanya kepada ibu, kenapa ibu mempunyai waktu lebih banyak dengan orang lain dan bahkan untuk kami saja ibu jarang, tapi ibu tidak pernah melewatkan seharipun tanpa tau kabarku. Kenapa ibu tidak pernah lelah berbagi? Lalu katamu, Nak, siapapun dia manusia, laki-laki atau perempuan sudah semestinya ia berbagi. Tuhanmu bukan Tuhan yang pelit, lalu kenapa kita harus menjadi orang yang pelit?
Aku membaringkan badanku dan meletakan kepalaku di pahamu, membiarkan tanganmu memainkan rambutku dan aku membiarkan telingaku mendengarkanmu bersenandung. Sore itu di teras atas, ibu berkata, Nak, aku ingin menceritakanmu tentang suatu hal, tentang perpisahan. Terkadang bagiku, adalah hal yang paling tidak pernah aku gemari, meninggalkanmu, meninggalkan ayahmu, meninggalkan ibuku dan juga ayahku. Aku pernah berada di suatu tempat yang jauh sekali dari pusat kota, terkadang aku menangis diam-diam ketika aku mengingat kalian. Lalu aku menikah dengan ayahmu, dan kami dipercayakan Tuhan untuk membesarkanmu, berat hatiku lagi ketika harus meninggalkanmu, kamu sedang gemas-gemasnya untuk dipertontonkan kepada orang banyak, sedang lucu-lucunya diajak bermain. Mungkin kamu masih kecil ketika kerusuhan di kota kita. Kamu mungkin sedikit paham dan mengerti ketika aku harus meninggalkanmu dan pergi melihat banyak orang, aku beberapa kali menangis di mobil yang mengantarkanku saat aku melihat wajahmu yang polos digendong ibuku dan melihatku berlalu. Aku menaruh harapanku kepada Tuhan agar Ia menjagamu dan semoga aku masih bisa kembali dan bertemu denganmu, rasanya aku terus berharap semoga malam malam akan panjang, karena itu satu-satunya waktu aku bisa memelukmu. Tapi, Nak, taukah kamu, bahkan jauh sebelum kamu lahir, Aku sudah belajar terlebih dahulu untuk belajar berpisah denganmu. Bukan hanya tentang tubuhku yang berpisah denganmu tapi termasuk berpisah dengan cita-citaku untukmu. Karena kamu punya jalan cerita yang tersendiri.



Ibu, aku mungkin menghidupi cita-citamu dan bapak. Bukan karena aku tidak punya cita-cita yang lain, tapi apa lagi yang bisa ku lakukan selain menuruti semua pintamu. Mungkin kamu tidak memaksakannya bu, tapi mungkin anak perempuan kecilmu ini sedikit pandai membaca kegelisahan. Aku tidak pernah marah karena aku harus menghidupi cita-citamu dan bapak. Karena ibu selalu berkata, semuanya itu punya kebahagiaan dan kesusahannya masing-masing. Tergantung bagaimana kamu memainkan perannya. Aku yang awalnya sedikit terpaksa perlahan mencoba memahami, bahwa mungkin maksud ibu adalah aku menjadi seperti ibu tapi berbeda versi namun tujuannya satu. Melayani dan melayani.
Dan aku pun tersadar, betapa tulusnya dirimu dulu melayani jemaatmu. Melayani dengan hati dan tidak menuntut pamrih. Dari situ aku mulai bercontoh, jika di kehidupan yang akan datang aku ingin menjadi seperti ibu. Dicintai banyak orang karena ketulusan dan kemurahan hatinya.
Bahkan di tempat yang awalnya aku tidak menyukainya sekalipun, aku menemukan banyak sekali cerita manis. Benar kata ibu, aku adalah anak yang terlalu cepat menilai dan tidak pernah mau mencoba terlebih dahulu.
Ibu, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk kesabaranmu dan kebaikan hatimu menghadapi anak perempuanmu yang begitu keras kepala dan sangat menuntut. Kau tidak pernah putus asa menghadapi semua hal tentangku.

Ibu, besok ujian terakhirku. Sebentar lagi aku menjemput mimpi. Doakan aku dari atas sana. Aku percaya ibu sedang berdoa dan bercerita dengan Tuhan malam ini. Semoga ibu bahagia dengan semua yang sudah ku kerjakan. Dan semoga ibu bangga.
Aku sayang Ibu.

Untuk Mama Ge, Dari anakmu yang merindukanmu.

Anw, ini sudah bulan november bu. Sebentar lagi natal. Adik dan aku sudah sering memutarkan lagu natal. Aku merindukan ibu yang terus bersemangat menyanyikan lagu natal dan terlalu bersemangat membuat pohon natal dan pergi melayani di bulan desember. Kami rindu mengantarmu pelayanan dan menunggumu dimobil. Ibu ingat kami punya bantal masing-masing di mobil yang akan kami bawa saat bapak membangunkan kami untuk menjemputmu? Ibu, aku merindukan itu, walaupun sebenarnya aku jengkel karena harus dibangunkan saat aku sedang enak-enaknya tidur. Ah Ibu, aku rindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar