Pernahkah ada disuatu masa saat kita merasakan kalau rumah adalah satu-satunya tempat yang akan menjadi tempat untuk pulang?
Saat diluar terasa sangat menyebalkan dan kamu tidak pernah bisa mengeluarkan semuanya, dan kamu pulang dan melepaskan semuanya disini, di rumah. Benar-benar semuanya di lepaskan, karena mereka yang berada di dalam tidak pernah akan membencimu dan mencoba untuk mendiamkanmu karena kamu menjadi orang yang paling menyebalkan?
Pernahkah kita memikirkan bahwa rumah dan semua hal didalamnya juga merindukan kita?
Bahwa semakin jauh kita dari rumah, semakin pergi jauh dari rumah, rumah tetap sama, ia tidak bergerak, ia masih menyimpan semua kenangan kita. Dan tetap menunggu kita untuk kembali.
Sampai usia saya menginjak 21 tahun, saya menghitung kira-kira sudah menempati 16 rumah, itu sudah termasuk kosan dan apartemen saya. Kalau benar ingatan saya.
Menjadi seorang anak pendeta, sangatlah tidak asing dengan kehidupan nomaden. Berpindah setiap tugas dari sinode (lembaga besar gereja) datang. Kami terlatih packing dengan sangat cepat. Mungkin itu juga alasannya kenapa saya selalu packing beberapa jam sebelum keberangkatan saya.
Rumah pertama yang saya tinggali adalah rumah manis dengan tanah kosong di depannya, yang disulap oleh ayah menjadi kebun, disebuah tempat di balik bukit, Kusu-Kusu Sereh, namanya. Ingatan saya masih sangat jelas dengan tempat ini. Dan mungkin tidak pernah akan saya hapus jika mungkin bisa. Semuanya disini.
Rumah kami disulap oleh ayah menjadi kebun. Kami bercocok tanam, apa saja. Terkadang menanam jagung, kacang panjang, buncis, bawang merah, tomat, sayur mayur. Ayah pandai sekali menyeamai bibit. Perut kami dikenyangkan dengan semua hasil dari kebun kami.
Saya punya tempat belajar favorite, di bawah pohon gandaria, dekat bak air, di samping rumah kami. Disitu nenek meletakan dua kursi santai warna-warni, sebuah meja untuk saya belajar setiap sore, beliau adalah guru saya. Tentu saja beliau galak, tidak pernah senyum kalau sedang serius mengajar. Saya punya seekor burung nuri, dia pandai memanggil nama saya, lengkap, Prizilia.
Kami punya sebuah pohon kelapa di depan rumah dengan taman penuh dengan rumput hijau, satu-satunya tempat saya bermain, karena tidak jauh dari rumah. Bertelanjang kaki, dan menikmati sore di atas batu dan menggantungkan kaki ke jalanan. Di depan rumah saya ada hutan, ada pohon jeruk bali, ada pohon durian, ada pohon gayang. Kami senang memungutnya kalau jatuh.
Rumah saya penuh dengan pohon-pohon, benar benar seperti di hutan. Satu satunya alasan kenapa saya senang sekali tinggal disana. Mereka melimpah dengan buah, tanah mereka subur dan saya untuk pertama kalinya belajar naik pohon disini. Belajar naik pohon langsat di samping rumah. Kami punya pohon cengkih dan jeruk manis, pohon pala dan pohon kakusang.
Jika musim hujan tiba kami akan sangat bahagia, karena kami bisa berenang di
aer kaluar. Airnya yang dingin dan menyegarkan, banyak sekali yang akan datang kesana, bahkan mereka yang dari kota.
Saya besar di kampung dan saya bahagia. Setiap pagi mereka akan menjual wajik dan gogos, saya senang. Berjalan kaki mengitari kampung bersama ibu tidak pernah akan saya lewatkan.
Rumah kedua, adalah sebuah rumah di kota. Di dalam sebuah lorong, yang hanya bisa dilewati oleh sebuah motor, yang kemudian saya baru tau mereka punya sebuah jalan juga yang bisa dilewati oleh mobil setelah hampir setahun lebih saya tinggal disana. Betapa saya mencintai rumah saya dan bahkan butuh sekian lama untuk keluar dan melihat yang lain.
Kami pindah kesini saat saya berusia enam tahun.
Rumah ini besar, bertingkat dan mereka punya teras yang bagus diatas. Taman mereka tidak terlalu besar tapi ibu selalu bisa membuatnya menjadi apa yang ia mau dan semua tanamannya benar-benar muat disitu. Kali ini ayah tidak menanam jagung dan teman-temannya, tapi menanam anggrek. Tiba-tiba taman kami berubah menjadi taman bunga anggrek, pohon kuini di tengah taman menjadi sasarannya, batang pohonnya seolah berbunga bunga anggrek. Bapak yang klasik, rumah yang bagus itu harus punya banyak tanaman.
Saya menanam pohon pepaya saya untuk pertama kali disini, mereka bertumbuh sangat banyak. Dan saya bahkan memetiknya dari lantai dua, saking mereka tumbuh besar.
Masa kecil saya dilewatkan disini. Banyak sekali cerita. Dari adik yang jatuh dari lantai dua, yang ceritanya kami sembunyikan dari ayah dan ibu sampai saya sudah SMA. Lalu saya yang mendapatkan banyak sekali luka di tubuh saya, beberapa karena imajinasi saya.
Saya menghabiskan banyak sekali masa kecil dan bertumbuh besar di rumah ini.
Mempunyai teman kecil yang masih terus berkomunikasi sampai sekarang, bahkan kami seperti keluarga. Bermain bersama, mengejar layangan dan jatuh dari
talut rumah tetangga. Bermain masak-masakan di gubuk orang. Bermain sepeda-sepedaan dan berakhir saya melompat dari belakang karena takut dan akhirnya saya pulang dengan sekujur tubuh berdarah. Bermain benteng, mutel, enggo sambunyi, pata pata, gici gici, gambar dan semua permainan anak 2000an pada waktu itu, dan itu membuat saya beruntung. Tumbuh dan besar di sebuah tempat yang masih dibilang kampung kalau dibandingkan dengan semua daerah di Indonesia.
Lalu rumah ketiga kami berada tidak jauh dari rumah kedua kami. Ibu mendapatkan tugas baru, dan kami harus mencari rumah sendiri, karena tidak ada lagi pastori. Ayah dan ibu mempertimbangkan banyak hal, mereka mencoba memperbaiki rumah tua mereka, milik ibu di daerah Kudamati dan milik ayah di Karang Panjang, Lin V. Semuanya sudah selesai di perbaiki dan kami sudah siap untuk pindah, tapi rasanya semesta tidak berkehendak, di suatu malam ada seorang janda baik hati datang bersama anak laki-lakinya menawari kami untuk tinggal di depan rumahnya. Ia berbagi rumahnya dengan kami.
Kami pun berpindah rumah lagi, saat itu saya SMP kelas 3.
Kami melewati banyak sekali cerita, hitam putih warna-warninya hidup di rumah ini. Nenek kami dari pihak ibu yang menjadi guru saya, pergi, pergi untuk selama-lamanya. Padahal saya punya banyak cerita dengannya. Dulu waktu kecil saya hampir tidak pernah tidur dengan ayah dan ibu saya, hampir sebagian masa kecil saya tidur dengannya. Oma No, namanya. Perempuan berambut panjang sekali, yang ia pangkas beberapa hari sebelum dia memutuskan untuk mengangkat ginjalnya, dia hidup 28 tahun hanya dengan satu ginjalnya. Dulu saya pernah bertanya kepadanya, "kenapa oma senang sekali minum air putih, seperti ikan saja", lalu akhirnya saya belajar kalau air putih itu sebenarnya sangatlah baik, dan alasannya meminum air putih adalah karena dia hanya punya satu ginjal, dia tidak ingin membebani lagi, ia masih ingin hidup panjang. Tapi taukah, dia pembuat anggur terbaik yang pernah ada.
Dan semuanya berubah ketika malam itu, ia makan dan merasa sesak. Saya membuatkan minum kepadanya untuk terakhir kali dan terakhir kalinya saya mendengarkannya mengucapkan terima kasih, dan itu adalah kalimat terakhir yang saya dengar karena keesokan harinya saya menjadi kebingungan karena sepulang les tiba-tiba sudah banyak sekali bunga yang bertuliskan, turut berduka cita.
Ternyata dia pergi bahkan sebelum saya berterima kasih kepadanya.
Saya masih ingat wajahnya dan senyumannya. Oma No, punya gigi yang jarang, satu-satunya hal yang bisa membuat saya tertawa ketika dia terlalu serius. Dan dia akan menghajar saya dengan rotan kesayangannya. Dia wanita yang baik dan sangat mencintai anak dan cucunya, bahkan saat natal ia selalu punya kado buat kami. Oma, kamu wanita baik.
Setahun kemudian, Kakak laki-laki ibu saya pergi, karena kecelakaan. Rasanya liburan akhir sekolah baru saja berakhir, kami sama-sama berkumpul malam itu. Ayah sedang berada di luar negeri hari itu. Kebetulan yang menyebalkan. Karena biasanya, saat semua orang menangis, saya akan ikut menangis walaupun saya tidak ingin menangis, ayah yang akan datang dan menenangkan. Ia menggendong saya seperti anak kecil padahal saya sudah SMA hari itu.
Saat ibu mendengar kabar, ibu bergegas pergi. Saya diminta tetap dirumah dan jangan keluar. Mereka mengirim foto ibu yang berlutut di samping tempat tidur kakaknya, berdoa dan menyanyi. Rasanya luka kepergiaan oma belum juga hilang, kita harus bisa untuk belajar melepaskan yang lain lagi.
Dan entah kenapa, saya bahkan seperti terlatih menulis puisi perpisahan dihari kematian dan membacakannya dengan haru dan pilu. Hal yang sama saya lakukan saat Oma No dan Oma Sin pergi.
Lalu hidup berjalan kemudian. Kami melewati tiga kali natal disini. Dengan tangan handal ibu, rumah itu disulap menjadi taman natal, dengan banyak sekali ornamen natal, lampu kerlap kerlip warna warni. Ibu paling mengerti bagaimana cara membuat ayah pusing membayar tagihan listrik saat natal, yang akan disambut dengan geleng-geleng kepalanya ayah dan sebuah pelukan dari ibu sebagai permintaan maaf. Ayah tidak pernah marah kepada ibu, itu yang saya tau sejauh ini.
Ingatan lainnya yang tidak hilang adalah, pernah merasakan jatuh cinta dengan tetangga samping rumah. Lucu. Tapi itulah cinta monyet anak zaman itu.
Dan moment lucu ketika musim hujan di Ambon dan banjir dimana-mana, longsor dimana-mana. Ayah akan pulang sangat larut, karena ia mendapat tugas menjadi kepala bencana, kata ibu kalau sedang kesal, ayah lupa kalau rumahnya juga terkadang kena bencana. Iya, rumah kami kemasukan banjir saat hujan datang dengan tidak kasihan. Saat sedang tidur tiba tiba saja merasakan seperti ada sesuatu yang basah di bawah. Dan apesnya, listrik akan padam.
Begitulah masa remaja saya dilalui.
Lalu kami pun berpindah lagi, di rumah ini, rumah yang ibu sebut, rumah oranje. Rumah yang sampai sekarang kami tempati.
Percayalah, saya adalah anak yang sebenarnya senang berada di dalam rumah dari pada berada di luar rumah. Itulah mungkin kenapa, dari dulu sekolah sampai sekarang rumah saya selalu menjadi markas. Tempat berkumpul teman-teman saya dari SD sampai SMA, teman-teman adik saya dan sepupu saya. Kami hanya mungkin terdroktin untuk berada di rumah.
Ibu membuat pagar di sekeliling rumah, berwarna abu awalnya yang kemudian diganti setahun setelahnya dengan warna merah.
Bagus untuk latar foto kami.
Ibu itu perempuan yang selalu ambisius untuk mengejar mimpinya. Mimpinya yang selalu akan ia sebutkan dalam doa. Ingatan saya selalu akan di bawa ke hari hari dimana, kami akan pergi ke gereja malam-malam dan akan berdoa di bawah mimbar, ibu menggunakan toganya dan kami menghabiskan waktu disana. Kami menyampaikan mimpi kami disana, termasuk ingin memiliki rumah kami sendiri.
Dan kemudian, kami mendapatkan sebuah rumah dengan bonus pohon mangganya. Kata para tetangga disitu, mangga ini adalah mangga termasam yang pernah ada dan mereka hampir tidak pernah akan memakannya dan membiarkannya busuk di tanah tanpa memungutnya. Lalu kemudian, disaat tahun pertama kami tinggal disini, mangga ini berbuah, dan ibu memakan buahnya dan ternyata tidak masam buahnya. Dan di tahun tahun berikutnya ia berbuah rutin, bahkan setahun dua kali. Dengan sangat banyak dan sangat manis.
Ternyata kata ayah, ibu pernah malam-malam berdoa di ruang doanya, ia berdoa untuk diberkati rumah ini dan semua isinya termasuk semua tanaman yang ada di dalamnya, agar bisa menjadi berkat.
Sekarang mangga ini menjadi sukacita tersendiri bagi ayah. Kami berdua sering sekali diberi laporan oleh ayah setiap hari tentang perkembangan mangganya. Berapa buah yang jatuh dan semacamnya.
Ayah masih senang menanam. Ia menanam markisa, mangga jenis yang lain, pohon belimbing dan tentu saja pohon rambutan yang selalu menjadi kebanggannya, yang membuatnya sering menyombongkan diri setiap keluarga berkumpul.
Kamu hanya perlu berdiri di lantai dua dan memetik rambutan termanis dengan daging yang banyak yang pernah ada.
Kau tau, bahkan sampai saat ini saya merantau sekian lama, ada satu moment dimana saya ditarik kembali ke masa masa itu, ia sering datang berupa; suara oma yang memarahi saya karena sering bermain saat belajar, bunyi hujan dan tawa anak kecil yang riang bermain dengan hujan diluar, gesekan pohon mangga di depan rumah, tawa renyah ibu di teras bersama ayah, lolongan anjing disetiap malam, hangatnya senja ketika tiduran di lantai di beranda.
Semuanya terasa menyenangkan dan seolah olah kesedihan tidak pernah akan ada untuk menyapamu.
Saat saya menulis ini, saya membayangkan betapa indahnya rumah di dekor oleh ibu. Kepiawaiannya menyulap rumah saat natal sudah teruji. Tahun ini kita bertemakan warna biru, tahun kemarin gold, tahun depan mungkin merah. Ibu tidak pernah suka sesuatu yang terlihat ramai, ia senang sesuatu yang seragam warnanya tapi beragam bentuk.
Saya membayangkan ibu yang dengan lincah mengeluarkan box box berisikan ornament natal dan mulai membuat pohon natal dan dia akan bergerak seirama dengan lagu natal tahun 70an yang selalu akan dia putar dari dvdnya. Dia menari kesana dan kemari seolah terus bersukacita. Dalam semalam rumah berubah menjadi berkelap kelip.
Lalu kemudian duduk di depan pohon natal, ibu dengan teh panasnya dan saya dengan coca cola saya. Menikmati malam itu dengan kue nastar terbaik.
Wajahnya yang ceria, selalu menjadi kesenangan untuk dilihat terus menerus. Sudah banyak keriput dan bintik-bintik hitam diwajahnya yang terus tersenyum dan tertawa. Ibu sudah tua, beberapa ubannya sudah terlihat samar-samar. Tangan ibu sudah melorot, lemak dimana mana dan tidak kencang lagi. Ibu sudah mulai banyak mengeluh capek.
Lalu kemudian, semakin aku tatap, perlahan bayangan ibu pudar. Pudar, pudar dan menghilang.
Ternyata ia sudah pergi lama sekali. Tapi rasanya masih seperti kemarin, ia menelfon dan menanyakan kabar dan kapan kembali, ia akan memulai memasang pohon natal.
Ah, Ma. Ternyata tahun ini saya lagi yang membuat pohon natal, tadinya sudah ku pikir akan menjadi bagianmu tahun ini.
Jika sudah begini, rasanya rindu kepada rumah selalu menjadi satu-satunya cara untuk mengobati rindu kepada ibu. Dan untuk rindu itu, yang menuntunku pulang dan memeluk ayah lagi di kamarnya, tertidur di pelukannya, dalam cerita panjangnya. Mendengarnya mendengkur dan kemudian terbangun keesokan harinya dan menemukannya sedang membaca koran.
"Sudah bangun kaka?" pertanyaan yang akan saya dapatkan setiap pagi saat di rumah.
***
(selesai menulis ini, saya sedang memikirkan konsep untuk menyulap rumah. Sekedar menghadirkan ibu di beberapa sisi rumah. Sudah lama ternyata melewatkan memasang pohon natal dan merasakan christmas feeling saat memilih untuk merantau)