Kamis, 31 Agustus 2017

Jogja(karta)


Jogjakartaku manis diwaktu malam. Waktu dengan random memesan tiket dan memutuskan langkah kaki berhenti di keberangkatan pukul 18.15 yang membawaku duduk diam disini. 



Perjalananku kali ini adalah memungut sisa-sisa hening yang ku tinggal disepanjang jalananmu
Perjalanan sunyi istimewa di kota penuh fenomena, kataku selalu
Malam ini kamu manis, tidak seperti manis biasanya. Kamu sangat manis malam ini. Aku melihat segumpal rindu dan cinta yang mengembang saat mataku menangkap alun-alun selatan dari ketinggian ini.

Biarkan kaki meninggalkan jejak di antara belantara, menautkan sendiri kepingan manis dan pahit

Benar, rinduku sekaram malam yang enggan berlari jauh. Betah berdiskusi dengan angin dan dingin sejarah tua. Sebuah kota dari perjalanan panjang negeri ini
Benar, rinduku memantik sendiri dikeramaian yang riuh

Engkaukah itu, kota yang memanggilku berpaling sejenak dari hiruk pikuk dunia
Kota yang berhasil memikatku dengan banyak seniman jalanan
Yang membuatku bebas berekspresi

Engkaukah itu, kota yang memanggil naluriku menjerengkan kata-kata
Kota yang berhasil memukauku dengan sederat bangunan dan jajanan
Kota yang selalu membuat aku terharu ketika aku harus pergi

Jogjaku yang manis, terbuat dari apakah engkau sampai-sampai banyak hati yang kau buat menjadi enggan untuk pergi dari sana. Kau membuat hatiku itu nyaman, lantas mereka memberimu nama Kota berhati nyaman. 

Namamu adalah jalan-jalan penuh senyum, penarik becak dalam peluh siangnya.
Lalu delman, sepeda, motor, mobil, bis juga taksi berbaur di jalan sempitmu
mereka merayakan kebersamaan bersaamamu
seperti makan berama disekitar tumpengmu atau berebut kue apem di keratonmu

Jogja, benar engkau
Ketika rasa haus dan penasaranku tunas disini
Jogja, benar engkau
Ketika hatiku semakin terpatri menyandingkan kata-kata di malam sunyi
Jogja, benar engkau
Istimewa di hati dan sanubari
Jogja, benar engkau
Ketika banyak sekali hati menjadi berbunga dan patah disini
Jogja, benar engkau
Yang menjadi saksi bisu mimpi-mimpi lelah berlari yang diistirahatkan malam 

Jogjaku manis
Dialah metropolitan yang menawarkan hasrat menenangkan, dengan angklung dan beberapa baris nada di lampu merah, pedagang-pedagang Malioboro yang tersenyum ramah tamah, bunga layu di pasar kembang, kunang-kunang di padang ilalang, tikar dan jagung bakar yang mengitari beringin kembar, serta embun-embun yang bercinta dengan pucuk daun di pinggir jalan. 

Jogja, kota yang tak pernah lupa cara untuk membuatku mencintaimu.

Jogja
Mozaik yang menilas, membungkus puisi hati juga mimpi. 

Lalu semua orang yang pernah singgah disini, sering membuat kesepakatan "sampai aku pergi dari sini berarti aku menanamkan rinduku pada Jogja"

Bukankah Jogjakarta memang begitu? Ia adalah rindu, ia adalah benci. Diam-diam kita jatuh cinta kepadanya.



Menulis ini saat pesawat yang saya tumpangi sudah berada di atas kota berhati nyaman ini, dan menyelesaikannya saat hati sedang merindukan Jogjakarta saat badan sudah berada di Jakarta. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar