Sabtu, 17 Maret 2018

Suatu Hari yang Baik di Jakarta

Jakarta, ibukota negara Republik Indonesia. Tempat dimana semua asa dan mimpi bermodalkan sedikit nekat dan percaya dibawa pergi jauh dari rumah, tempat paling nyaman seantero jagad raya. Membawa mimpi dengan iming-iming segera kembali membawa kesuksesan. Tapi Jakarta tak selamanya manis, ia menawarkan mimpi tapi ia juga membuatmu senewen. Kau harus punya 1001 cara supaya bisa bertahan hidup, otakmu dipaksa keras untuk harus berpikir sangat cepat dari biasanya.

Jakarta memberimu banyak sekali keindahan ditengah kemacetan hiruk pikuk kota metropolitan, maksudku bukan sebuah keindahan sebuah pemandangan yang menyejukkan mata tapi di setiap perjalananmu kamu akan melihat banyak sekali keindahan yang ada di sisi lain kota yang katanya keras ini. Kamu masih bisa melihat bahwa ditengah kesibukan dan begitu dinamisnya kehidupan disini masih ada hati yang manis dan tidak terlalu sibuk memikirkan diri sendiri.

Suatu hari, saat saya memutuskan untuk berada di tengah kota yang sebenarnya bukan benar-benar di tengah kota, tempatnya sudah sedikit ke arah utara Jakarta. Saya memesan Go-Jek dari rumah, di sepanjang perjalanan saya melihat banyak hal. Kalau dihitung hitung sebenarnya saya akan lebih memilih kemana-mana naik motor ketimbang harus naik mobil, entahlah saya semacam punya sebuah keanehan kalau perjalanan terlalu jauh saya suka pusing apalagi kalau terlalu banyak orang di dalam mobil itu dan terkadang saya merasa kekurangan oksigen, beberapa teman saya dan orang orang dekat saya paham dengan keanehan yang satu ini. Ah, ngelanturnya kebanyakan.

Dan saya memilih berada disini;



Hari masih belum terlalu sore, jam di tangan saya pun masih menunjukan pukul 4 sore tapi saya tak menemukan matahari disana, samar-samar cahayanya jahil memberi tanda kalau ia masih ada, awan hitam pertanda akan segera turun hujan. Tapi tempat ini tak juga sepi malah sebaliknya, banyak orang yang justru berdatangan. Kota tua. Itu nama tempatnya, siapapun yang pernah ke Jakarta pasti tau tempat ini dan bagi saya foto di tempat ini adalah hal yang wajib dilakukan kalau berkunjung kesini. Kota tua, tempat yang dulu dijadikan pusat pemerintahan dari zaman Kerajaan Sriwijaya sampai berpindah tangan ke VOC lalu Jepang. Tempat yang menjadi saksi sejarah kalau bangsa kita ini pernah menjadi bangsa terkuat zaman sriwijaya dan majapahit tapi setelahnya menjadi bangsa yang sangat prihatin karena berratus-ratus tahun menjadi bangsa jajahan.

Terlepas dari semua itu saya adalah pengaggum bangunan bangunan bergaya eropa, bangunan dengan gaya industrial yah apa pun itu, Oma saya adalah orang yang paling bertanggung jawab atas semua hal ini, semua hal yang membuatku jatuh hati dengan semua hal yang punya ketertarikan dengan eropa, beliau adalah orang yang membuatku senang bermimpi kelak akan berlama-lama disana atau mungkin selamanya. Entah apa, bermimpi itu semacam punya sebuah keasikannya sendiri, kamu bermimpi itu seperti berdoa siapa tau nanti doamu terkabulkan, seperti itu.

Beberapa bangunan disini masih terlihat sama dengan bangunan aslinya, beberapa telah dicat ulang tapi masih dengan warna yang sama, beberapanya lagi telah dialihfungsikan menjadi tempat makan dan kafe sekedar untuk menikmati sorenya Jakarta bergaya Belanda.
Di tempat saya ini bangunannya masih sangat sangat sama seperti aslinya, hanya ditambah beberapa kursi agar bisa dipakai orang untuk duduk, tapi kursi dan mejanya pun masih dengan sentuhan Belanda yang besar besar dan berat. Manis.
Dapurnya pun masih bergaya Belanda, saya sempat menengok sekilas saat antri untuk membayar.
Oh ya, omong-omong ini adalah sebuah kafe, nama kafe ini adalah kedai seni djakarta.



Cappuccino panas adalah pilihan saya untuk menghabiskan sore disini. Mereka punya banyak sekali makanan disini dan enak enak, kamu bisa menemukan banyak sekali makanan masa kecilmu disini, saya lupa apa makanan yang saya makan kemarin tapi diatasnya itu ada gula yang diberi pewarna agar terlihat menarik, semacam biskuit yang kalau kamu makan kamu akan menyisakan biskuitnya.





Sore adalah waktu yang tepat untukmu memberikan sedikit rasa lega bagi dirimu yang telah lelah bekerja seharian. Ngopi atau ngeteh, sendiri atau beramai-ramai terserahmu saja, lakukan semuanya yang bisa membuatmu bahagia. Jangan terus membahagiakan orang lain tapi kamu lupa kalau dirimu juga butuh untuk dibahagiakan. Berilah itu sesekali, tak ada yang salah dari itu.

Btw, mereka punya cappuccino yang enak, tidak salah sore itu saya mampir kesini.


Kamu bisa memasukkan kafe ini ke dalam list weekendmu. Dia berada tepat di sebelah kanan Museum Fatahillah, sejajar dengan Bangi Kopitiam. Disana ada banyak sekali kafe kafe seperti ini, mungkin lain kali saya akan kesana mampir di setiap kafe itu.



Oh iya, kafe ini punya banyak sekali spot untuk feed instagrammu. Saya jatuh cinta dengan spot yang ini sedari pertama saya masuk ke kafe ini. Dia punya meja yang tinggi dengan kursi-kursi tinggi seperti di bar dengan dinding batu bata yang dicat warna coral.



Malam pun datang, langit Jakarta sudah gelap lampu-lampu jalan sudah dinyalakan, saya memilih untuk kembali, dan ternyata banyak yang baru memulai kehidupan. Kota ini menawarkan banyak sekali mimpi, yang berani menantang nasib dan menurunkan sedikit ego dia adalah orang yang akan bisa bertahan disini. Ada penjual gulali disana, makanan masa kecil yang manis tapi cepat membuat haus berwarna merah muda yang dijual abang-abang menarik perhatian saya yang sedang mencari cari bapak uber. Seperti anak kecil yang mendapat hadiah, teman saya melahapnya dengan mata berbinar binar. Oh iya, saya tidak sendiri sebenarnya, saya membawa seorang teman, belum pernah saya ceritakan di cerita saya yang lalu-lalu. Sebut saja dia manis. Tapi dia bukan kucing, hanya saja kalian boleh memanggilnya manis.

Kami tidak benar-benar pulang. Dalam sebuah perjalanan terkadang membuat rencana dadakan itu akan sangat dengan cepat terealisasi ketimbang harus berencana jauh-jauh hari, maka hari itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat yang lain.

Jakarta tidak terlalu padat malam itu, supir uber yang kami tumpangi adalah seorang parubaya beranak dua dan beristri satu, ia bercerita banyak dari tempat-tempat yang ia pernah singgahi waktu dulu masih bekerja sampai tentang pemerintahan bangsa ini. Saya sedang berselera untuk menanggapi pembahasan seperti ini, karena biasanya saya akan diam di kursi belakang dan menghabiskan waktu di jalanan tenggelam dalam pikiran saya yang meloncat kesana dan kemari menerawang jauh ke jalanan di luar. Iya saya memang seperti itu. Maklumi saja.

Kami memasuki daerah pertokoan di daerah Selatan Jakarta. Dan berhenti tepat di sebuah tempat yang sering saya kunjungi kalau kalau saya benar benar membutuhkan kopi dan ketenangan. Satu dari sekian banyak tempat.




Tau tempat ini? iya, tempat yang sangat sangat terkenal itu akibat menjadi salah satu tempat syuting film yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Filosofi Kopi. Tempatnya di daerah Melawai, Blok M.

Kalau ditanya di bagian mana saya bisa tenang disini padahal disini banyak orang dan terlalu banyak kesibukan disini, lagi-lagi saya menyebutnya adalah sebuah keanehan. Saya senang memperhatikan banyak orang yang berada disini, sibuk dengan banyak sekali pembicaraan mereka, sibuk dengan diri mereka sendiri. Entahlah kota ini telah padat entah itu dipaksakan atau memang sengaja memaksakan sehingga meredam segala sesuatu termasuk ekspresi, keinginan, hasrat, pikiran bahkan fantasi. Kota ini terlalu sibuk menjadi pemerhati yang baik, entah itu membantu untuk kemajuan di hari yang akan datang atau malah memojokkan. Banyak jiwa yang sebenarnya berpura-pura disini, berpura-pura berbahagia padahal bisa dibilang ia adalah sedang berpura-pura, termasuk saya, kami terlalu piawai memainkan peran kami sehingga semuanya terlihat baik-baik saja. Dan di tempat ini saya bisa melihat kesamaan, kesamarataan, setidaknya di tempat ini saya melihat ada tempat dimana orang berpakaian sebagaimana seharusnya mereka berpakaian. Entahlah saya hanya orang yang malas berkomentar banyak tapi sejujurnya saya tidak suka melihat sesuatu yang sebenarnya tidak pada tempatnya, seperti menggunakan baju yang seharusnya dipakai ke pesta tapi malah dipakai ketempat yang lain, ke gereja misalnya atau kemana saja. Iya baiklah, itu milik kalian dan tak usah berkomentar, iya baiklah.


Pesanlah secangkir Vanilla latte dari barista di depan, ia akan bercerita tentang apa itu kopi kepadamu, semacam sejarah singkat lalu diakhirnya kamu akan menemukan filosofi dari yang kamu minum saat kamu mengambil pesananmu, kira-kira begitu yang ada di film dan itu yang ada di pikiran saya saat memutuskan kala pertama saya kesini, tapi ternyata tidak, ada kekecewaan yang muncul tapi segera terobati dan tempat ini segera mendapat pemaafan karena Vanilla lattenya memang enak, kamu boleh mencobanya jika mau kesana.

Jangan datang pas weekend atau saat sore, kamu akan kesusahan mencari tempat duduk, atau mungkin kamu akan kebagian tempat duduk tapi diluar, mereka punya kursi kursi juga supaya kamu bisa menikmati kopimu di trotoar pertokoan itu. Ini yang menjadi masalahnya, dulu sempat saya mengajak kekasih saya kesini dan terjadilah percekcokan antara kami hanya karena tempat duduk di dalam dan di luar, yang menurutnya adalah sesuatu yang tidak akan membuatnya kembali lagi kesini sekalipun saya merengek seperti anak kecil memintanya menemani meminum kopi disini, dan ternyata tak ada pemaafan yang dia berikan walaupun minuman dan makanan mereka enak. Ah dasar si keras kepala.

Oh iya, sesekali jika kamu beruntung, kamu akan bertemu beberapa artis kenamaan tanah air yang menghabiskan waktu mereka disini termasuk mereka yang membintangi film yang judulnya sama dengan nama tempat ini. Dan lagi-lagi ini yang membuat satu kalimat ketus keluar dari mulut kekasih saya "kalau bukan mereka yang katanya artis ini yang punya tempat ini pastilah tak ada orang yang akan datang kesini". syalalalala.



Jakarta masih hidup dan belum tertidur jam seperti ini. Jam tangan saya sudah menunjukkan pukul 9 malam. Jalanan Jakarta masih sangat ramai, belum lelah ternyata. Jakarta diwaktu malam bagi saya sangat indah, entah kenapa. Bukannya semua orang berhak menyukai apa pun, asalkan dia senang bukan?

Ke Cikinilah kita, itu yang dikatakan manis.
Cikini, di pusat Jakarta, tempat dulu pernah ada di masa kecil saya, samar-samar namun jelas. Masa kecil saya dulu senang sekali melewati jalanan ini bersama mama. Di samping jalanannya berjejer pertokoan dengan gaya eropa, bangunannya juga sudah lama dan mirip mirip jika dilihat dari luar hanya interiornya saja yang diganti tapi ada beberapa yang masih mempertahankan bentuk aslinya. Disini ada banyak sekali kafe dan tempat makan, tapi tak pernah akan kalian temukan anak muda atau anak kuliahan, kalau ketemu paling hanya satu dua.



Bentukannya yang bagus membuat saya segera memasuki tempat ini, dan ini bukan kali pertama saya kesini. Disini ada dua tempat yang menjadi tempat favorite saya, dan tempatnya bersebelahan kamu hanya perlu berjalan kaki. Kedai Tjikini.

Disini saya bisa betah berlama-lama, bisa dari sore sampai mereka benar-benar close baru saya angkat kaki. Jangan tanya saya kenapa, karena saya pun tidak mengerti apa yang hendak saya jawab. Mereka punya kopi susu yang enak.


Saya lupa kalau perut ini belum terisi sejak tadi dan nyeri ulu hati sudah mulai, iya kamu cukup batu. Tidak ada kopi untuk mengakhiri hari ini, diganti teh dan semangkuk bubur ayam agar segera berdamai.

Tempat ini punya kaca yang bisa langsung membuatmu melihat kearah jalan raya, tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat disini mungkin karena sudah hampir larut.

Dan kami baru benar-benar pulang saat waktu hampir menunjukan hari akan segera berganti.




Ini dia manis. Si nona manis berdarah Toraja tulen, yang kebetulan dibesarkan di Ambon dan mengaku-ngaku dia adalah orang Ambon padahal tidak. Tapi sebenarnya saya tau kenapa dia akan menjawab seperti itu lika ada orang bertanya kepadanya dari mana asalmu, begini kira-kira, jika kamu dilahirkan dan dibesarkan disuatu tempat kamu akan menaruh hatimu disitu tanpa kamu sadari, sekeras apa pun darah yang mengalir dalam dirimu dan bahkan menjadi identitasmu karena kebetulan kamu menyematkannya di akhir namamu, tempatmu dilahirkan dan dibesarkan memberikan banyak kenangan kepadamu dan membuatmu menjadi sering merindu diam-diam untuk kembali, entah kapan tapi nanti suatu saat. Iya, saya juga rindu.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar