Jumat, 13 Januari 2023

Belum tau Judulnya Apa

 “… terlalu merasa benar, dan terkadang melangkahi lantas kurang mengerti dan egois”.


Sebuah kalimat yang cukup menohok di malam tadi. Seperti sebuah makanan keras yang di paksa untuk di telan. Di lontarkan oleh seseorang.

Manusia — insan yang selamanya akan benar menurut cerita versi dia.

Lalu ini adalah versiku, entah dia seperti apa.

Di suatu hari yang sangat lelah dan burn out, saya memilih pulang dan tidur setelah bersih-bersih. Lumayan lama tidurku, 6 jam yang cukup. Pikirku sudah lumayan enakan, lalu aku bangun dan hendak makan. 

Sudah merasa aneh dengan badanku sendiri. Moodnya berantakan, tapi harus tetap bersosialisasi karena aku bukan dia, yang kalau marah semuanya akan di diamkan. Aku akan tetap ramah kepada yang lain, karena masalahnya adalah aku sendiri yang tidak perlu orang lain kena getahnya.

Setelah semuanya selesai, sore hari aku tertidur lagi. Masih dengan mood yang berantakan dan isi kepala yang sangat ribut, 1 jam tidurku cukup tapi lelah.

Pelan-pelan aku menata moodku. Berharap akan baik-baik saja. Ku dapati sebuah pesan di layar ponsel, aku baca, lalu bertanya. Masih di jawab dengan baik, ku balas pun dengan baik. Pikirku adalah bercanda, maksudnya dia mungkin tidak. Begitulah dua kepala yang beda cara berpikir yang harus di paksakan untuk satu pada akhirnya. Cekcok sana sini dan lalu keluarlah kalimat yang cukup membuatku terdiam beberapa saat.

Aku adalah manusia yang sangat pandai mengatur amarahku, karena aku tidak mau hari-hariku di habiskan dengan energi kesal yang aku keluarkan terlalu banyak. Aku akan memilih diam dan tidur untuk menenangkan amarahku, tapi tidak dengan dia. 

Kalimatku di anggap seperti “singgungan” yang ternyata kena sekali di perasaannya. Maksud aku ke A, tapi ngertinya ke B.

Lalu muncul sebuah kalimat baru di balik kalimat “aku baik-baik saja” — “bintang jatuh yang egois”.


Jika ku runut satu-satu, di sisi hidup yang mana aku terlihat egois dan tidak mengerti. Bahkan hal-hal minor yang tidak terlihat orang lain pun aku mengerti dan menerima semuanya, karena kasih aku terlalu besar, cintaku terlalu luas. Dengan lapang dada aku menerima dan pelan-pelan aku ajarkan bagaimana baiknya hidup di dunia tipu-tipu ini, sesekali aku diajarinya, aku pun menerima. 

Aku coba mempersempit kalimat “kurang mengerti dan egois”, tapi tidak ku temukan ujungnya. Karena sehematku, bahkan sampai urusan kamar mandinya pun aku urusin. Lihatlah betapa aku menjadi budak cinta. Betapa aku terlalu menyayanginya seperti aku menyayangi diriku sendiri.


Aku, wanita yang sangat sensitif. Sangat perasa dan terlalu berpikir untuk hal-hal yang tidak penting. Satu kata yang menurutku “kasar”, itu menjadi luka yang tidak sengaja di goreskan di hatiku. Sebenarnya itu adalah hal yang tidak wajar, tapi Tuhan begitu iseng menciptakan manusiaNya, di berikanNya aku banyak warna merah, putih, hitam dan abu-abu dari sekian banyak warna. Setiap saat makin banyak warna merah yang mengisi bagian warna putih yang kemudian warna merah itu akan menghitam. Pertanda akan ada banyak rasa yang secara tidak sengaja di eliminasi alam bawah sadarku untuk tidak lagi di rasakan. Dan dari yang ku pelajari tentang diriku sendiri, jika sudah hampir penuh warna hitam itu di bagian warna putih dan menyentuh ke warna abu-abu, aku memilih mundur. Karena warna abu-abu adalah satu-satunya area yang aku tidak biarkan orang lain menyentuhnya, satu-satunya area yang membuatku tetap sadar kalau aku harus tetap waras untuk hidupku yang penuh warna di kemudian hari.

Yah sebaiknya di diamkan saja bila penuh isi kepalamu. Tidak semua orang bisa di paksa mengerti, ada kalanya juga dia yang selalu mengerti ingin di mengerti, coba sesekali bertanya, apakah si senang itu pernah menyimpan sedihnya? Karena ada banyak orang yang pandai menyimpan lukanya sendiri.

Dia pernah memimpikan hidup bahagia denganmu, tapi dia membawa banyak hal yang sebenarnya bukan hal yang harus kamu pikul bersama. Karena dua menjadi satu itu bukanlah hal sesimpel itu, tidak semua beban masa lalunya harus dia bagi sebagai tanggunganmu. Karena mungkin kamu pun tidak akan membebankan dia dengan masalahmu. Makanya komunikasi di awal.

“Tapi akhir-akhir ini bukan hanya masalah komunikasi, tapi bagaimana caranya mengerti”. Pernah ku baca di updatenya.

Kalau tidak mengerti, tidak mungkin dia ada dan membantumu berpikir, bukan sumbangsih material yang di berikan, tapi telinganya dan waktunya itu adalah hal yang sangat sangat berharga yang ia berikan. 

Akhirnya aku mulai mengerti kenapa kita pisah dulu, karena kamu selalu dengan pengertianmu, aku pun demikian. Kamu akan selalu menganggapku si otoriter, sementara aku menganggapmu adalah si player terbaik. Lalu, apakah mau kita ulang lagi bagian hidup yang itu, apakah kita harus belajar mendewasa di rumah yang lain lagi lalu berharap semesta akan mempertemukan lagi dengan versi terbaik kita setelah sudah di berikan kesempatan kedua ini? Atau kita akan berbicara dari hati ke hati, apa yang mesti kita sama-sama rubah agar kita tetap baik-baik saja?


Ah, entahlah. Aku terlalu capek memikirkan hormonku yang naik turun bak roller coaster ini.

Selasa, 03 Agustus 2021

Sesuatu yang di Depan Mata

 Setahun lebih memilih untuk pulang dan tinggal disini.

Ada pertanyaan yang sampai sekarang belum saya temukan jawabannya “apakah saya akan tinggal lebih lama lagi disini?” — pertanyaan yang hampir selalu saya tanyakan pada diri sendiri. Kembali ke Jakarta, lalu bertolak ke Gorontalo melanjutkan hidup, lantas melupakan semua pertanyaan itu. Saat pandemic yang berkepanjangan, alam bawah sadarku menuntunku kembali kesini. Kembali ke kota ini. Kota kecil yang punya sore yang manis, city light yang meneduhkan, warganya yang saling kenal satu dengan yang lain dan mulai ramai dari terakhir saya pulang. 

Semenjak pulang, hati kecil saya terus di buat gusar dengan pertanyaan saya dulu. Lalu, ternyata menjadi dewasa dan diam di rumah saja adalah kegiatan yang tidak baik. Saya lantas bekerja, hanya untuk “menghibur” diri. Setidaknya saya beraktivitas. 

Ada beberapa hal yang tidak bisa saya lakukan disini seperti dulu saat saya di Jakarta; pergi makan sendirian, ke mall sendirian cuman muter-muter doang, minum kopi sendiri di taman, belanja buku dan kopi bubuk. 

Tapinya, saya sering ke pantai kalau disini. Makan bakso setiap sore, jalan-jalan ngiterin kota saat tengah malam, menepi di batas kota hanya untuk merenung. — dan saya belum menemukan jawabannya.


Saya tidak punya banyak teman lagi. Lebih tepatnya, saya yang tidak mau terlalu banyak punya teman dan relasi. Itulah resiko jika seseorang bertambah tua, dia akan mengurangi untuk terlibat dengan banyak drama tidak penting.

Saya punya kekasih yang terus saya ganggu dan ajak diskusi tentang apa saja setiap saat. Dan menurut saya itu lebih dari cukup.

Lingkaran pertemanan saya hanya sebatas teman lama saya dan teman kerja saya. Kami lebih banyak membahas hal-hal ringan di luar kerjaan dan beberapa gosip. Dan itu sudah cukup.

Saya mulai memasak banyak makanan yang tidak bisa saya temui di kota ini. Beberapa tempat makan di kota ini bisa memasaknya tapi rasanya tidak sama. Selera lidah saya jadi makin tidak sama. Kecuali kopi mereka masih juara. Saya beberapa kali memasak untuk papa, aldi dan mereka di rumah, lalu di bagikan ke tetangga dan saudara. Sesuatu yang sebelumnya bahkan tidak pernah saya lakukan.

Saya mengurangi belanja tidak penting-penting saya seperti dulu, dan lebih banyak membeli bahan masak juga sleepwear. Saya belajar bangun pagi, dan sarapan. Hal lain yang dulu saya tidak pernah lakukan.

Lalu tadi pagi, saya berdiskusi dengan papa. Saya menemukan jawaban; bahwa banyak hal yang saya miliki di depan mata, dan itu lebih dari cukup. Itu saja dulu. 

Jika saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Biarkan saja. Biarkan saja saya menikmati waktu saya dan apa yang saya punya sekarang, persis di depan mata saya.

Sabtu, 12 Juni 2021

Kita yang Saling

“Dia yang bersama denganmu saat ini adalah bukan kebetulan yang tidak disengaja. Dari jutaan manusia kamu menemukan dia,— mencintai dia, berharap hidup bersama dengan dia untuk waktu yang lama. Dia memang bukan yang selalu ada dan tidak juga yang sempurna. Tapi dia tau bagaimana memperlakukanmu dengan baik, menjagamu, mendoakanmu, menjadi tim hore yang tidak kalah bersuara lantang ketika mendukungmu. Bagimu dia pasti berharga, pun sebaliknya. Jangan kalah dengan keadaan meski harus memperjuangi suatu hal yang tidak mudah, tetaplah saling menguatkan. Menyelesaikan masalah berdua itu juga termasuk proses untuk tumbuh bersama. Mendewasa bersama. Menerima lebih dan kurangnya sampai menua bersama-sama”. — Menemukan tulisan ini ketika merasa tidak cukup untuknya.


Nyatanya, dia kuat karenaku, dan aku kuat untuknya.

Kita adalah sepasang yang saling. Manusia terbuat dari kata pergi dan pulang. Seperti kata terima dan kasih. Layaknya mengenakan sepatu, kau tidak bisa hanya memakai satu dan meninggalkan yang lain.


Mungkin kita adalah sepasang telinga. Kamu yang kanan dan aku yang kiri. Selalu butuh dua untuk mendengar dengan jelas. Termasuk kata "Aku sayang kamu" walaupun itu diucapkan dengan berbisik.



Mungkin kita adalah sepasang kaki. Kamu kaki yang kanan dan aku kaki yang kiri. Salah satu dari kita tidak akan melangkah dengan cepat atau lambat atau terburu-buru. Kita saling menunggu. Kita akan saling sabar. Kita beriringan.


Mungkin kita adalah sepasang hati, yang diciptakan untuk menjadi sepasang. Sudah seharusnya saya mengenalmu sebagai bagian dari tubuh, hati saya yang sudah pergi lama dan kau curi di waktu yang tepat. Ketika diciptakan menjadi sepasang, diberkatilah hari aku dan kamu di pertemukan. Ketika saya dan kamu diciptakan, saya punya alasan untuk bersyukur tentang takdir, karena itu kamu dan bukan orang lain.


Ketika saya dan kamu diciptakan sepasang, saya begitu penasaran dan hendak melayangkan begitu banyak pertanyaan kepada pencipta. Tapi yang keluar dari bibir saya adalah


"Terima Kasih". — Dan bukankah itu sepasang?



Sabtu, 12 September 2020

Long distance relationship 2.0

Tinggal berjauhan itu sesungguhnya adalah hal yang berat. Dan aku adalah salah satu dari makhluk yang Tuhan ciptakan, sebagai perindu yang payah.Aku terkadang mengutuki jarak, tapi katanya berkat jarak rindu itu tercipta.


Si patjar — Masih orang yang sama saat aku menulis kisah cintaku yang harus berdamai dengan jarak. Kamu, aku sayang sungguh-sungguh.


Long distance relationship, katanya

Saat kau tinggal berjauhan,

kau nyaris hampir terlupakan,

Terbaikan,

Terlewatkan oleh moment-moment keseruan dalam hidupnya, keluargamu atau teman-temanmu,

Walaupun mereka tau, moment itu tak akan pernah lengkap tanpa hadirmu.


Long distance relationship, katanya.

Lambat laun kamu mulai terbiasa, 

Terlupakan dan terabaikan,

Digantikan oleh banyak rutinitas yang sengaja dibuat untuk membunuh rindu, walaupun tetap kabar berita terus kamu terima.

Meskipun, kadang kala pesan-pesan singkatmu tidak lagi terbalaskan secepat waktu senggang.

Kamu mau salahkan siapa?

Memang waktu tak lagi sama, dan kalian seperti sedang berlomba.


Long distance relationship, katanya.

Kamu terbangun, dia tertidur.

Dia tertidur, kamu terbangun.


Long distance relationship, katanya.

Dia tak tau apa yang sedang kamu alami, kamu tidak tau apa yang sedang dia alami.

Akhirnya kalian terbiasa, untuk tetap menjaga agar tetap baik baik saja.

Pikiran burukmu mulai teralihkan,

Kau tak sibuk lagi menyalahkan,

Mau tak mau, komunikasi kalian makin sering dan semakin intens dan searah.


Long distance relationship, katanya.

Terkaan dia tentang hidupmu yang baik baik saja, yang riuh ramai berderu seru,

Meski kerap kali, sepi menyapamu, 

Apa mau dikata,

Pintu kemana saja tak kamu miliki, ia hanya ada di imajinasi Doraemon semata.


Long distance relationship, katanya.

Entah sepi mulai membiasakanmu, 

Sehingga kau lupa bagaimana seharusnya sepi itu hadir untukmu.


Long distance relationship, katanya.

Kamu mulai belajar,

Kamu mulai menerima

Lelah berharap pada waktu yang tetap akan memisahkan,

Meski cinta terus kau pupuk dengan rindu.

Tak apa.


Long distance relationship, katanya.

Kamu mulai belajar,

Bahwa sabar selalu akan berbuah hasil.

Baper tidak ada gunanya,

Emosi telah ingkar berganti dengan sabar dalam ikrar.


Long distance relationship, katanya.

Kemudian kamu mulai tidak terlalu peduli, ketika pesan tak terbalaskan, 

Perasaan terabaikan,

Raga terlupakan,

Namun batin masih di persatukan.

Kuat-kuatlah kamu menjaganya, dalam doa yang tidak pernah putus, memintanya kepada Tuhannya untuk tetap tinggal menjadi milikmu.


Long distance relationship, katanya.

Meski tak lagi bersama,

Dia jauh disana,

Tetap tidak akan tergantikan olehnya yang dekat bersama,

Bagaimana mungkin kau akan lupa,

Jika hanya dia yang membuat lega, bahagia dan nyaman.


Long distance relationship, katanya.

Hidup terus berlanjut,

Tidak pedulikan emosi yang terus berkecamuk,

Dan rindu yang terus merajut,

Karena jarak dan waktu telah membuat bisa dan biasa.


Long distance relationship, katanya.

Kau tak lagi berharap,

Pada manusia,

Yang terkadang juga berhenti berharap dan sekali-kali lupa.

Layangkan doa, untuk menjaganya. Percaya saja, ia akan baik-baik saja.


Long distance relationship, katanya.

Tak usah lagi banyak menerka,

Karena tak lama lagi kita akan bertemu,

Melepas rindu yang semakin menggebu.


Sabtu, 05 September 2020

Agar Santun dalam Mencintai

Kopi Klotok, Jogjakarta — Maret, 2020



Sampai sekarang saya masih percaya kalau Tuhan itu memang menciptakan manusia ini berpasang-pasangan. Laki-laki dan perempuan, mereka akan menemukan jalan mereka masing-masing dan berakhir menjadi satu, bukan lagi dua orang yang berbeda tapi dua orang yang beda tapi disatukan atas nama cinta.


Di saat semua teman saya mulai menemukan pasangan mereka, memantapkan hatinya untuk berlabuh, lalu saya berpikir bahwa dewasa ini manusia modern sangat membutuhkan pasangan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, karena seperti teh tanpa gula, tawar rasanya hidup tanpa pasangan, bagi sebagian orang hidup mereka seperti kurang warnanya.


Untuk menemukan warna yang baik untuk melengkapi lukisan mereka, manusia menjadi pintar mencari cara untuk menemukan pasangan, mereka menjadi kreatif dengan sendirinya, berbagai cara mereka lakukan dari yang beradab sampai yang paling biadab.


Beberapa kali melihat banyak cerita di linimasa dan cerita teman, bahwa memang sejatinya kita hidup selalu akan penuh dengan cobaan. Dan salah satu dari cobaan itu adalah adanya istilah pelakor dalam sebuah hubungan yang sedang terjalin.

Mungkin ini adalah salah satu cara dari berbagai cara tersebut, menikung pasangan orang lain. Hal ini biasanya terjadi karena ada hukum penawaran dan permintaan dalam pola hubungan yang di bangun.

Biasanya seseorang akan menjadi bosan pada hubungan dengan pasangannya dengan alasan yang berbeda-beda, entah mungkin karena terlalu sering bertemu atau sebaliknya, mungkin saja gaya pacarannya yang begitu-begitu saja, disaat seperti itu akan ada orang lain yang sangat jeli memperhatikan peluang pasar dan memanfaatkan kemelut ini untuk menendang bola alih-alih semoga tembus ke gawang, dan GOL! 

Dia akan datang semacam sales MLM yang menawarkan kemudahan dalam masalahmu dan solusi untuk semua problematika hidupmu, cinta salah satunya.

Ah, memang manusia selalu tidak akan pernah puas. Kenapa Tuhan tidak menciptakan manusia dengan rasa cukup saja?!


Well, tidak ada yang bisa disalahkan dalam proses ini dan tidak akan juga mendapat pembenaran. Karena sejatinya, setiap yang bernyawa bebas untuk mencintai dan dicintai, mereka berhak untuk merasakan itu, namun tentunya dalam urusan mencinta dan dicintai pun selalu ada aturan mainnya, ada kaidahnya, ada cara-cara yang baik pula, sebab selama ini yang kita tau adalah sesuatu yang di mulai dengan baik akan selalu berakhir dengan baik, dan adanya orang lain di hubungan seseorang itu tentu adalah permulaan yang tidak baik.


Mari belajar untuk memposisikan diri sebagai orang yang tersakiti, agar berpikir beribu-ribu kali untuk menikung hubungan seseorang.

Jika kita mendapati hubungan seseorang sedang di ujung tanduk, maka sebaiknya kita jangan menjadi tanduk yang lain untuk menghancurkan dengan ganas hubungan tersebut. Sah-sah saja jika kamu mencintai dan dia pun punya rasa terhadapmu, tapi berilah dia waktu untuk menyelesaikan masalahnya dengan pasangannya, dan biarkan dia untuk memilih pada akhirnya akan bertahan atau melepaskan.

Jangan mencuci pikiran seseorang yang sedang gamang, dan percayalah saja pada hukum alam bahwa apa-apa saja yang sudah di tentukan oleh semesta selalu akan mencari jalannya sendiri, dan manusia tidak bisa mengelak untuk hal itu, tidak perlu menjadi picik dalam mencintai, karena kamu perlu menjadi santun untuk saling mencintai.



Catatan di notes handphone, yang di tulis di Jogja dan baru di lengkapi di Ambon.

Jumat, 04 September 2020

Sebuah Cerpen - Cuma Teman

Kalau ada yang bilang cewek sama cowok bisa sahabatan tanpa melibatkan perasaan, tolong bawa orang itu ke hadapanku sekarang. Karena aku paham betul bagaimana rasanya. 

Aku, Ian, adalah seorang laki-laki, dan Khloe, dia adalah seorang perempuan yang juga adalah sahabatku. Kami bersahabat sudah hampir enam tahun yang lalu, ketika aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan seseorang, lalu aku bertemu dengan Khloe di sebuah acara, kami bertemu beberapa kali dan menjadi dekat. Kami bisa bersahabat dengan baik-baik saja tanpa takut tergelincir ke jurang yang namanya jatuh cinta.

Tidak sulit untuk bersahabat dengan Khloe, kami saling melengkapi dan rasanya cukup punya orang lain yang untuk mendengar segala keluh kesah hidup yang mungkin tidak bisa aku jelaskan dan ceritakan kepada kekasihku. Kami seperti sepasang sepatu, aku kiri dan dia kanan. Kami adalah pagi dan malam, matahari dan bulan. Seperti roti dan selai kacang, mungkin seperti itu.

Aku kemudian pindah ke Denpasar, cukup jauh dari tempatku sebelumnya, tapi beberapa kali aku selalu menyempatkan untuk pulang, kadang saat libur panjang atau saat natalan. Khloe tetap tinggal di kota ini, menyelesaikan kuliahnya. Kota kami namanya Amerta. Kota kecil, di Pulau Dewata, kira-kira lima jam dari Denpasar.

Aku ketika pulang, selalu menyempatkan untuk bertemu dengannya, sebisa mungkin. Saat jauh darinya, aku merindukan waktu kita bersama, makan di cafe kesukaan kami berdua, ngobrol sesuatu yang tidak penting, lalu tertawa karenanya. Ibu Khloe punya sebuah restaurant yang dekat dengan cafe ini, masakan ibunya tidak perlu diragukan lagi. Setiap aku pulang ibunya selalu memasak untukku, Sop Daging buatan ibunya selalu menjadi favoriteku, aku bisa makan sampai dua porsi.

"Gimana Denpasar Ian?" itu seperti pertanyaan yang selalu ditanyakan oleh ibunya setiap aku pulang ke Amerta.

"Denpasar, ramai bu, tidak seperti Amerta yang masih sedikit orangnya, crowded sampai aku suka pusing sendiri", kataku.

"Ah, kamu masih saja seperti dulu, masih tidak suka keramaian dan selalu bilang pusing kalau sudah terlalu ramai, untung sudah tidak bersembunyi di toilet lagi ya kamu", dia pun tertawa dan aku pun ikutan tertawa. Memang sedekat itu kami, sampai keluarga kami pun tau semua kebiasaanku dan cerita memalukanku.

"Untung kamu pulang Ian, kasihan Khloe kemana-mana sendirian, sudah biasa sama kamu katanya", jelas ibunya.

"Ah, si manja memang bu dia." Aku kemudian tertawa dan mengacak-acak rambut Khloe.

Aku tau kalau kita sedekat itu, kemana aku pergi selalu akan ada Khloe dan begitu sebaliknya, saat kami tidak bersama orang akan bertanya "loh dimana dia?" dan karena kita sangat dekat beberapa orang menyarankan kami untuk berpacaran saja, yang tentu saja kami dengan cepat untuk bilang "tidak, tidak mungkin itu, kami hanya sahabatan dan ga akan pernah lebih dari itu."

Sejak enam tahun yang lalu, aku menemukan dan memutuskan untuk bersahabat dengan Khloe, rasanya dia selalu ada di setiap jatuh cinta yang aku alami, dan aku selalu ada di setiap patah hati yang aku pikul. Aku adalah orang pertama yang akan ia telfon, ketika ada lelaki yang mendekatinya dan dia adalah orang yang pertama aku ceritakan tentang cewek-cewek yang aku dekatin. 

"Kalau elo terus kayak gini sampai kapan dong kamu akan menetap di satu hati, tobat dong Ian kasihan anak perempuan orang elo cuma ajak dia main-main", nasihatnya yang selalu akan aku dengar ketika aku bercerita dengan siapa aku sedang menjalin hubungan yang tidak pernah aku seriusi.

Aku sampai sekarang bingung dengan cinta dan komitmen, rasanya aku juga menyadari kalau aku juga jahat kepada banyak perasaan. Tapi aku belum menemukan alasan kenapa dan kapan aku harus berhenti. 

Lalu, aku pun kembali ke Denpasar. Kehidupanku kembali seperti biasanya, kuliah, nongkrong, futsal, gitu aja terus. Aku kemudian mengakhiri hubunganku dengan kekasihku yang sekarang tepat sebulan sebelum natal. Dan kemudian aku memutuskan untuk tidak kembali ke Amerta untuk natal kali ini. Aku tetap di Denpasar, toh aku juga belum pernah natal sampai tahun baruan di Denpasar. 

Hari-hari berjalan dengan sangat cepat, luka hatiku sudah sedikit membaik. Sehabis ujian skripsiku, aku pulang ke Amerta, aku pulang ke kota yang penuh cinta di bulan yang di nobatkan semua umat manusia sebagai bulan pink, hari cinta ada di bulan ini, aku berharap cintaku juga tidak akan terus kelabu.

Semesta seperti mendengarkan doaku, aku lalu dekat dengan seseorang, seseorang dari masa lalu yang aku harap tidak akan berlanjut menjadi sesuatu yang diseriuskan, rasanya aku keliru, dia berhasil menarikku kembali dan senyumannya masih bisa dan selalu bisa menenangkanku sampai hari ini. Aku menemukan dia ketika di bandara, ternyata dia juga satu tujuan denganku, Amerta. 

"Darimana saja dia selama ini, kenapa baru muncul sekarang, atau aku yang terlalu lama pergi?", aku membatin ketika aku melihatnya sekali lagi di rumahku. 
Ia masih sama gadis kecil yang lucu dengan senyumannya yang lebar, yang masih aku kenali sedari dulu. Ia menyapa semua orang di rumahku dengan ramah, lalu dengan cepat menjadi akrab dengan mereka, aku kemudian mendapatkan hatiku terjatuh untuk kedua kalinya kepada gadis yang sedang tertawa bersama ibuku sekarang, dua wanita yang berhasil mencuri hatiku.

Kami bersepakat untuk tidak menceritakan hubungan kami kepada siapapun, karena aku hanya ingin menikmatinya seorang diri tanpa aku bagi dengan yang lain. Dan Khloe, belum aku beri tahu sama sekali. Kami masih melakukan banyak hal yang kami sukai dulu, ke pantai dan duduk di pinggir pantai, memeluknya dan menunggu sunset, ia masih menyukai senja, ia masih betah berlama-lama dalam pelukku. Sekian lama dia menghilang, dia tidak jauh berubah, hanya menjadi wanita yang lebih matang dan dewasa, aku mendapat bonus dia semakin cantik dengan sudah gemuk. 

Aku tau aku masih tergila-gila kepadanya, aku masih menjadi Ian yang akan menjadi sangat marah ketika ada yang membuatnya menangis dan aku masihlah Ian yang mengusahakannya untuk tetap bahagia. 

Astaga, sepertinya aku sudah gila.

Kemudian kami berbicara banyak hal yang serius tentang masa depan, ia meyakinkan raguku untuk bisa mendapatkannya sebagai teman hidupku, dan katanya dia juga mau mengusahakanku. Bagiku itu adalah sebuah semangat, semangat untuk terus membuatnya tinggal dan mengusahakannya.

Hari-hariku di Amerta kemudian menjadi berubah, hidupku penuh dengan cerita darinya siang dan malam, merindunya adalah pekerjaanku, dan bertemu dengannya semacam penawar. Dia bekerja seperti tuas pengamanku dan pengontrol naik turunnya emosiku. Memastikan dia tetap baik-baik saja di bumi seperti angin segar untuk pagiku.

Aku melupakan hari-hariku yang biasanya dengan Khloe, berubah semenjak ada dia.

Dia, Indira.

Aku tau mungkin Khloe akan marah, tapi aku sedang menikmati bahagiaku. 

"Semoga kali ini elo ngerti ya Khloe", bisikku dalam hati, lalu aku meraih tangan lembut yang sedang memelukku dari belakang, memberinya isyarat supaya lebih kencang memelukku. Udara di Amerta siang ini sangatlah cerah, anginnya tidak terlalu kencang dan mataharinya tidak terlalu menyakitkan untuk keluar dengan motor.

***

Kami pun berpacaran sampai tiga tahun, Indira, dia juga kenal dengan Khloe, mereka dekat dulu. Untungnya aku punya pacar yang pengertian, yang tidak begitu melarang pacarnya tetap berteman dengan sahabat ceweknya. Yang tidak pernah curigaan, aku selalu menduga-duga apakah Indira akan marah atau tidak, tapi aku selalu menceritakan setiap kejadian hariku, semua-semuanya, rasanya tidak ada satu pun yang terjadi di hidupku yang Indira tidak tau. 

Indira yang sekarang lebih dewasa, ia lebih tenang dan itu yang membuatku semakin jatuh hati kepadanya, cara-caranya memperlakukanku dengan sopan dan berbeda membuatku merasa sangat beruntung memilikinya sekali lagi. Aku selalu bilang "Aku sama Khloe itu hanya teman, percaya deh ga akan pernah lebih dari itu", Indira sempat bilang waktu itu ketika aku mengajaknya makan sehabis kita nonton dan telfon dari Khloe yang berulang-ulang kali masuk ke ponselku, aku yang antara takut ia akan marah, kemudian membalikan handphoneku "Udah, angkat aja, aku percaya kok sama kamu, kalau pacaran jaman sekarang masih ada kecurigaan, mungkin kali ini aku yang salah memilih hatiku untuk berlabuh lagi di orang yang salah".

Lihat, betapa dewasanya dia dan betapa sangat tidak mungkin aku tidak jatuh hati kepadanya.

***

Lalu, saat memasuki tahun ke empat kami berpacaran, aku kemudian memberanikan diri untuk melamar Indira, hari itu di Kamandalu, Ubud. Aku memberikannya cincin dan setangkai bunga anggrek merpati. Indira masih seperti yang dulu, tidak terlalu suka bunga, apalagi bunga mawar. Terharu dia ketika mendapatkan kejutan itu, memelukku kemudian menghadiaiku berkali-kali ciuman di bibir dan di dahi. 

"Terima kasih, sudah mau menjadi temanku berbagi sampai nanti, sampai maut memisahkan. Sayang sama aku terus ya, aku akan mencintaimu dan mengasihimu serta menjagamu sampai sekuat tenagaku, sampai maut memisahkan kita". 

***
"Sayang, aku hari ini ga bisa nemenin kamu buat meeting sama orang WO, kamu sama Khloe ya hari ini, nanti ada mama juga yang nemenin. Aku hari ini tiba-tiba harus ke Jakarta karena ada meeting buat proyek yang minggu lalu aku ceritain ke kamu..... Aku udah ngasih tau Khloe kok, nanti dia hubungin kamu". Jelasku kepada Indira.

***
"Sayang, aku lagi sama Khloe di rumahnya. Ibunya Khloe katanya kangen sama aku, katanya mau masak sop daging kesukaanku juga sebelum nanti kamu masakin aku, jadi aku harus makan masakan dia dulu sebelum jadi suamimu"

"Iya sayang, hati-hati ya kamu, kabarin kalau kamu nyampe yaa", kata Indira kepadaku.

Mobilku berhenti di depan rumah bergaya scandinavian yang serba putih milik Khloe dan keluarganya, ibu Khloe suka sekali menanam bunga, sama seperti ibu lainnya. Hari ini terlalu panas, aku hanya menggunakan kaos oblong oversize berwarna putih bergambar The Simpson. Khloe berdiri di depan pintu rumahnya dengan celana pendek dan baju crop tee yang selalu ia gunakan, tubuhnya selalu cocok bila menggunakan baju seperti itu, dengan rambutnya yang baru di potong sebahu ia lebih terlihat segar dan lebih muda lima tahun. Ia berlari berhamburan ke pelukanku seperti anak kecil, aku memeluknya dengan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu, padahal aku baru saja bertemu dengannya seminggu yang lalu.

"Gimana rasanya di pingit?" tanyanya lalu meninju lenganku.
"Aw, sakit yaa, pukulan elo masih kenceng juga, gue aja takut sama elo gimana cowok yang lain Khloe?" aku mengurut lenganku dan melangkah masuk ke dalam rumah.

"Bu, anak hilangnya udah datang nih" teriak Khloe 
"Enak aja lo, anak hilang apaan?"
"Loh emang iya kan, elo bentar lagi hilang dari hidup gue dan ibu, udah punya hidup sendiri, bahagia yang elo bangun yang semoga aja bahagia" jawab Khloe ketus

Aku kemudian bersamalaman dengan ibunya Khloe, menemaninya di dapur, sementara Khloe sudah duduk di meja makan sambil main handphone.

"Anak hilangnya udah datang, anak sendirinya di lupain, yah emang semuanya kayak gitu aja, ga pernah ngerti" ketus Khloe

Aku dan Ibunya Khloe kemudian melotot kebingungan ke arah Khloe.

"Kenapa bu, anaknya? PMS lagi, bukan awal bulan kan ini bu?"
Ibu Khloe lalu tertawa, "ga tau tuh Ian, coba deh di ajak ngobrol dulu"

Aku kemudian duduk di dekat Khloe, sambil menunggu ibu menyiapkan makanan, aku mengambil tempe yang sudah ada di atas meja dan memakannya. Khloe tetap diam, sibuk dengan handphonenya, membuka social media.

Makanan semuanya sudah tersedia di atas meja, ibu Khloe mengambil piring dan kemudian menyendoki nasi dan di berikan kepada kami. Kami masih diam-diaman, sesekali Khloe menghela nafas, lalu membuangnya dengan keras. Insting sahabatku berkata ini ada yang salah dan tidak boleh di biarkan berlama-lama.

Aku pun bertanya, "Lo kenapa sih Khloe, kayak beda banget hari ini, padahal tadi di depan kayak senyam senyum aja lo meluk gue?"

Khloe malah menunduk, dan menjawab dengan suara pelan agar ibunya tidak mendengar, "lo mau tau aja atau mau tau banget?"

"Yee, masih bercanda aja nih si bocah. Kenapa sih, kasih tau dong". Kataku

"Ya udah, gue kasih tau ya", kata Khloe "lo mau tau kan gue kenapa kan?"

Aku menegak air putih sambil menunggu Khloe berbicara, "Iya, buruan deh ngomong, daripada gue pulang dengan penasaran".

"Gue selama ini punya rasa sama lo, gue sayang sama lo Ian," kata Khloe

"UHUUKKKKKKKKK", air putih yang baru saja aku teguk seperti ingin keluar dari mulutku

"Ian, kenapa?," seru ibunya Khloe, panik. Aku buru-buru mengambil tissue dan membersihkan mulutku

"Gak, apa-apa bu", jawabku singkat.

"Kok sampai tersedak gitu sih, hati hati dong ah" kata Khloe, lalu mengusap punggungku

Aku mencoba menenangkan diriku.

"Tadi lo bilang apa? gue kayaknya dengernya kurang jelas", aku meneguk air putih, lagi.

"Gue bilang gue sayang sama lo", jelas Khloe, lagi.

"UHUUUKKKKKKK", air putih yang baru saja ku teguk rasanya seperti ada tulang di dalamnya

"Ian, kenapa, astaga kamu" Ibunya Khloe bertanya

"Ng, nganu bu tadi aku kegigit cabe", aku mencari alasan

Ibu Khloe panik, "apa tadi ibu motongin cabenya kegedean ya?", dia mengaduk-ngaduk sop dagingnya, mencari-cari cabainya dan memisahkannya ke piring kosong

Aku melotot ke arah Khloe, sembari berbisik, "Lo sakit? bercanda lo ga lucu ya"

"Emang muka gue kelihatannya bercanda kali ini?", tanya Khloe. Aku lebih melotot, sorot mataku semakin tajam, "Lo udah gila? mana bisa sih lo sayang sama gue, hah? lo ga boleh punya rasa ke gue Khloe, kita udah ngebahas ini sedari dulu, sedari awal gue dekat sama lo, sedari awal banget, lo apa-apaan sih kayak gini sekarang?"

"Iya, Ian tapi itu kan dulu, bukan sekarang"

"Hah?"

"Gue begini sekarang, jujur ngomong ke lo", Khloe berbicara sambil mengaduk-ngaduk kuah sop dagingnya

"Kenapa sih lo kayak gini? kenapa lo bisa jadi punya rasa ke gue, ya Tuhan Khloe, lo salah banget" 

"Ian", Khloe menarik nafas dalam, "Gue tuh ga bisa ngatur hati gue harus berlabuh di siapa, lo sendiri yang bilang hati sama otak itu ga pernah bisa sinkron kalau udah jatuh cinta, yah hati gue milihnya elo, gimana dong?"

"Gimana dong apanya?"

"Yah, gimana dong?"

"Khloe, gue ga tau. Sakit kepala gue. Lo ga bisa nanya ke gue gimana, gue aja kaget. Lo ga bisa kayak gini Khloe, lo ga bisa nanya gue gimana dong. Yang punya perasaan itu elo bukan gue, urusin sendiri Khloe, gue pusing banget", Aku mendengus kesal.

"Yah iya makanya gue bilang ke elo sekarang"

"Yah tapi ga di saat gue udah mau nikah gini Khloe, ga di depan ibu lo juga"

"Ibu udah tau kok, dia udah ngerti banget anaknya sebenarnya gimana"

Aku menggeleng, "Gak gini Khloe"

"Yah maaf, gue ga nemu di internet cara uninstall perasaan ke sahabat sendiri gimana, sorry"

Aku mendorong kursiku, meminta izin dari ibunya Khloe untuk ke toilet sebentar.

Aku berjalan dan menggeleng, memberi kode kepada Khloe untuk mengikutiku.

***

Sekarang aku dan Khloe sudah berada di halaman rumahnya, berdiri berhadapan. Masih kaget dan marah, kepalaku terasa berat setelah mendengar apa yang baru saja Khloe katakan. "Khloe beneran deh, sekarang lo ngomong deh maksud lo ngomong gitu apa? apa yang lo mau sih?"

"Gue cuma mau lo tau, udah gitu doang"

"AHHHH KHLOE" Aku berteriak, menggaruk kepalaku 

"Kenapa? Gue salah?"

"Salah, lo salah. Lo tau ini ga benar, sejak kapan hah?"

"Udah lama. Dari tiga tahun lalu, dari semenjak lo datang ke rumah, setengah sadar, kita duduk di teras dan lo bilang lo udah ngubur dalam-dalam perasaan lo ke dia, dia yang sekarang akan jadi istri lo. Lalu perasaan itu ada tiba-tiba, Ian. Perasaan untuk membuat lo nyaman, dari saat itu gue berjanji buat diri sendiri buat selalu bahagiain lo, selalu ada sama sama lo. Sejak saat itu, gue merasa gue bisa punya kesempatan buat memasuki hati lo, hati yang selama ini lo pagari, yang ga lo biarin satu orang pun di dunia ini buat masuk ke situ. Dan gue yakin cuma gue yang paling ngertiin lo sejak itu, cukup buat gue, cukup tiga tahun buat ngertiin lo dan nemenin lo."

"Khloe, astaga, Tuhan"

"Padahal gue salah, saat gue yakin gue yang menangin hati lo karena selalu gue yang menjadi prioritas lo, walaupun lo brengsek ke semua cewek, lo tidurin dan ninggalin, tapi gue tau lo ga akan kayak gitu ke orang yang lo sayang dan gue cukup yakin gue salah satu orang itu, walaupun gue menebak-nebak selama ini kemana hati lo akan berlabuh, tapi gue ternyata ga cukup pintar dan lo cukup lihai menyembunyikan rasa sakit yang lo pupuk menjadi rindu yang kemudian membuat lo kembali ke dia, jahat banget kan semesta yang selalu lo bilang cantik kalau sore ini?"

Hening.

Khloe menarik tanganku, dan meletakannya di dadanya.

"Lo tau selama ini gue adalah perempuan yang paling bahagia menjadi prioritas lo, gue selalu nunggu telfon dari lo, walaupun semua itu cerita tentang cewek yang ini besoknya cewek yang lain lagi, gue cemburu tapi gue mendam, tau ga lo? sakit gue mendam sendiri Ian", tangannya mulai berkeringat, suaranya menjadi parau, dan aku hanya terdiam melihat matanya

Aku menarik tanganku, aku mengusap-usap wajahku frustasi. "Lo gila Khloe? ini yang selama ini kita jaga, persahabatan kita, sesuatu yang kita punya, dan gue ga tau apa-apa soal perasaan lo selama ini"

"Emang ga enak Ian, jadi orang yang sendirian berjuang dan tau kalau cinta lo sendiri akan bertepuk sebelah tangan", Khloe terduduk, dia masih terisak

"Berdiri deh, jangan kayak gini, ga enak di liat"

"Lo ga nyadar kan, kenapa setiap lo balik dari Denpasar ke Amerta, gue selalu sempatin buat ngejemput lo, terus gue meluk lo kencang banget, gue bilang gue rindu sama lo"

"Yah itu kan normal, kayak biasanya yang kita lakuin ga sih?" Kataku, jujur.

Khloe menggeleng.

Aku baru sadar kalau kadang perhatian kecil, terkadang bisa di salah artikan oleh seseorang. Dan orang yang sudah jatuh cinta terkadang ia menjadi bodoh. Ah, cinta buta sialan.

"Pantesan semenjak gue mulai ngobrol yang serius-serius, nanyain lo soal ini itu, gimana caranya ngelamar cewek, cewek tuh maunya kayak gimana, lo jadinya ga terlalu bersemangat dan ketus banget jawaban lo"

"Iya, karena gue ga suka ada orang lain selain gue Ian, ngerti ga sih lo?" Khloe setengah berteriak.

"Terus lo mau gimana? Gue udahin semua ini sama Indira? terus gue ngomong ke dia, kalau sorry Ra, selama ini ternyata aku ga bisa serius sama kamu, lalu gue datang ke hadapan lo dan gue bilang Khloe, iya gue juga punya perasaan yang sama ke lo, gue juga selama ini sayang sama lo. Ga mungkin Khloe" 

"Lo jujur deh sama gue sekarang, lo bahagia emang?" tanya Khloe dengan sorot mata yang sangat tajam

"Iya, gue bahagia. Gue bahagia milikin Indira, gue yakin dia akan dan bisa ngerawat gue, lo ga bisa menentukan bahagia gue kemana harus bersemayam, gue yang nentuin dan ini gue udah nentuin, udah gue bulatin niat, tinggal di sahkan dimata hukum dan agama"

Khloe terisak.

Hening.

"Khloe, gue pastiin gue ga akan bisa sayang sama lo. Gue sayang sama lo tapi ga akan pernah bisa lebih dari sayangnya seorang sahabat, ga akan Khloe", kali ini aku yang terjongkok.

Aku sekarang bingung harus ngomong apa. Aku menggaruk-garuk kepalaku.

Khloe ikutan jongkok, "Gue salah Ian, gue salah harusnya ga gue ungkapin sekarang mungkin dari dulu, tapi gue ga punya nyali. Sekarang gue udah kepeleset jauh, jauh banget. Tapi gue ga mau kalau lama gue mendam ini, gue yang sakit, yang jadi momok buat gue sendiri dan gue nyesal ga pernah ngomong ini ke lo. Ini bukan zaman bapak ibu kita lagi yang cewek selalu nunggu cowok buat ngungkapin perasaannya kan? gue selama ini nunggu itu, tapi ga ada dan ga akan pernah ada lagi, gue nunggu sia-sia karena gue ga membaca dengan baik apa sebenarnya yang hati lo mau, bahkan gue terlena dengan semua kenyamanan yang lo kasih ke gue. Gue ga mau gue nanti bertanya-tanya terus 'apa yang terjadi kalau gue ga ungkapin perasaan gue ke Ian?', gue ga mau kita menua dengan bertanya-tanya, gue ga mau kalau one day gue nikah sama siapalah dia itu, ketemu dimana, kalau kita ketemu gue cuma nanyain kabar lo doang, anak lo udah bisa apa, istri lo udah ngapain aja, ga mau gitu Ian. Gue salah, gue tau."

"Ini yang terjadi Khloe, ini sekarang yang terjadi. Perasaan lo bertepuk sebelah tangan, menepuk angin." Aku memperagakannya. "Gue udah punya Indira, pasangan gue yang Tuhan kasih yang gue yakinin dan atas izin Tuhan akan gue jaga dan ngebahagiain gue, yang ngertiin gue banget, dia baik banget, dia bisa buat gue nyaman, dia yang selama ini gue cari. Dan ini gak adil kalau sampai dia tau, kalau sahabat calon suaminya sendiri ternyata selama ini nyimpan perasaannya ke calon suaminya, kalau sampai dia tau gimana Khloe? haduh, kasihan Indira"

"Udah tau," jawab Khloe singkat

"HAH?"

"Iya, Indira udah tau"

"Tau darimana, gila lo?"

"Gue yang ngasih tau. Gue yang ngasih tau waktu dia mampir ke restaurant ibu, gue ajak dia ngobrol"

Khloe dan Indira sudah akrab kembali, beberapa kali mereka sering keluar berdua. 

"Terus?" tanyaku tegas

"Dia nanya, lo tau apa ga?, dia cewek yang benar-benar percaya sama lo, dia bilang lo tau apa yang lo mesti lakuin, dia cuma bilang ke gue kalau ini tuh ga sehat. Gue bilang iya, gue tau kok, makanya gue mau ngomong nanti." 

"Terus apa kata dia?"

"Dia cuma bilang, kita sama-sama wanita, kita tau kan sakitnya di kecewakan kayak gimana, dan di khianati itu sakit sekali, terus kata gue, iya gue cuma perlu jujur doang, dan akan pergi dari hidup kalian kok", jelas Khloe.

"Kenapa lo bilang ke dia?"

"Karena gue ga kuat Ian, beneran ga kuat. Gue cuma sakit banget, ngeliat lo udah menemukan bahagia lo, dan lo akan ninggalin gue padahal gue disini ngarepin lo banget. Gue ga bisa kalau liat kalian jalan berdua, hal-hal yang biasanya kita lakuin bareng tapi sekarang lo lakuinnya sama yang lain bukan sama gue, dan gue benci itu Ian." 

Khloe menghela napas, lalu berdiri, dia menggeleng "Gue yang bodoh, gue tau perasaan gue ga akan mungkin terbalas tapi gue tetap biarin aja, gue ga bisa ngelak kalau gue emang suka diperlakukan manis sama lo"

Aku berdiri, menatap Khloe yang sekarang berada hanya sekitar dua langkah dari tempatku berdiri. 

Ibunya Khloe keluar, entah dari kapan dia berdiri disitu, apakah dia mendengar semua yang kami bicarakan atau tidak aku tidak tau dengan jelas. Ia menatap kami berdua dengan mata yang iba, mata iba seorang ibu yang sayang sekali kepada anaknya. Saat tersadar keberadaannya sudah diketahui, ia perlahan melangkahkan kaki menuju ke tempat kami.

Dia memegang tanganku, mengusap punggung tanganku, "Ian, tetaplah kamu pada pendirianmu, cinta ada memang karena terbiasa, kamu tidak bisa melarang cinta itu untuk tumbuh, ia seperti tanaman perdu tumbuh liar dimana saja ia ingin, di hati siapa saja. Kamu benar, tindakanmu tidak salah, kamu memegang prinsipmu, itu namanya kesetiaan dan prinsip seorang lelaki."

Ibu Khloe menghela napas, suasana menjadi hening.

"Kalian berdua sudah dewasa, kalian berdua sudah besar. Selesaikan semuanya dengan baik-baik, Khloe hanya hilang arah. Ah kalian berdua, masalah sepele saja kok di ributkan besar-besaran", ibu Khloe pun mengusap pundak kami berdua dan masuk ke dalam rumah.

Hening.

Yang terdengar hanya kicauan burung, hari sudah hampir sore. Ponselku bergetar. Indira menelpon. 

"Hallo sayang, aku ini..... Ng, bentar lagi udah pulang kok.... Jadi kok, nanti aku kabarin ibu ya buat nemenin kamu ya. Nanti aku kabarin kalau udah balik.... Bye, sayang, love you"

"Lo pulang aja udah ya, kita lagi ga searah"

"Iya, gue mau pulang, kasihan Indira dari tadi nungguin"

"Lo tetap datang kan ke nikahan gue?"

"Gue usahain datang, mungkin itu juga jadi pertemuan terakhir kita, Indira tau perasaan gue ke lo, gue cewek dia juga cewek, gue ga mau jadi ga adil, yang paling adil adalah gue yang pergi dari kehidupan kalian, gue mending kehilangan sahabat daripada gue mati nanti seumur hidup gue cuma diingat sama lo sebagai orang yang merebut kebahagiaan lo", matanya menatapku nanar.

Aku melangkah ke arah Khloe, berdiri di depannya, kami sekarang hanya berjarak satu jengkal, aku menatap matanya, aku menepuk punggungnya lalu memeluknya, "maafin gue ya, semoga lo dapat yang terbaik, dan sorry itu bukan gue, doa gue selalu buat lo kok Khloe", aku melepas pelukanku dan pergi.

Itu pertemuan dan percakapan terakhir kami.

***

Aku kemudian di sibukkan dengan persiapan pernikahanku yang semakin hari semakin dekat. Kami telah membahas banyak hal, sampai kemana nanti kami akan honeymoon dan akan punya anak berapa nanti.

Aku belum membahas masalahku dengan Khloe ke Indira, aku tidak tega menganggu dan menghancurkan moodnya dengan cerita cerita seperti ini.

***

Sabtu, Agustus 2025 - Khayangan Estate, Uluwatu, Bali

Aku mengikrarkan janji suci untuk hidup bersama dalam segala keadaanku, dalam sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, senang ataupun susah, di hadapan Tuhan, umatNya, orang tua, keluarga dan para sahabat, untuk berjanji menjaga dan mencintai Indira Kirana Larasati sampai maut yang memisahkan.

Selesai pemberkatan, kami pun lanjut resepsi. Belum sempat kami membicarakan banyak hal, karena memang sangat di sibukkan dengan datangnya para tamu, kami harus menyapa mereka satu per satu. Kami bahkan belum sempat duduk sedari tadi. 

Kami tidak membuat pesta yang sangat besar, hanya sederhana dan yang kami undang hanya kerabat dekat dan keluarga. Indira mau agar kami intim, dan terus diingat moment hidup yang ini.

Kami baru duduk saat MC mempersilahkan kami berdua untuk duduk, "kita beri dulu kesempatan kepada kedua mempelai untuk duduk sebentar, ngobrol berdua, karena dari tadi saya liat mereka berdua seliweran kesana dan kemari, silahkan bapak dan ibu tamu undangan melanjutkan acara makan makannya, menikmati kebahagiaan malam ini", kami berdua saling menatap lantas ketawa, kami terlalu bersemangat untuk hari ini, sampai lupa kalau kami berdua belum makan.

Indira sangat cantik, ia terlihat anggun dengan gaun putih gadingnya, make upnya terlihat natural, dia memakai softlens bening sehingga warna bola mata cokelatnya masih terlihat jelas, ah mata itu, yang selalu menenangkanku dalam segala situasi. Ia tersenyum malu-malu ketika mengetahui aku sedang diam-diam memperhatikannya, dia masih tetap Indira yang aku kenal sewaktu masih SMA, dia yang malu-malu ketika di puji cantik dan akan memerah pipinya ketika di tatap dalam waktu lama.

Ia meneguk wine dari gelasnya, lalu menatapku "Khloe dimana?"

"Entahlah, aku belum melihatnya dari tadi"

"Oh baiklah, sebentar lagi dia akan speech bukan?"

"Harusnya begitu sayang. Anyway, aku mau ngomong sayang"

"Soal Khloe?"

"Iya sayang"

"Dia udah bilang ke kamu?"

Indira meneguk lagi wine, lalu menatapku

"Udah, tiga minggu lalu"

"Syukurlah"

"Iya sayang, aku bilang tidak ke dia"

"Aku tau kok sayang"

"Hah?"

"Iya sayang, kalau gak kamu gak akan ada disini sekarang, dan semua ini gak akan terjadi"

Aku melihat ke arah Indira, dia masih tetap Indira yang aku kagumi jiwanya sedari dulu. Aku berdiri dan memeluknya. 

"Dance with me?"

"Hahaha.... Sure"

Lalu aku menariknya ke tengah-tengah kerumunan orang, mereka seperti mengerti dan memberi kami ruang. 

Lagu Endless lovenya Lionel Ritchie dan Diana Ross yang dibawakan oleh sepupu Indira yang tiba-tiba naik ke panggung, aku tidak melihat jelas karena lampu sorot menghalangi aku untuk menerawang. Tapi aku mengenal suara perempuan yang bersama sepupunya Indira ini. Itu suara Khloe.

Aku mendengar kabar dari ibuku setelah selesai berdansa dan duduk bersama Indira, kata ibuku Khloe tidak membawa kertas speechnya dan dia tidak mempersiapkannya di handphone.

Suasana masih ramai, para tamu undangan masih menikmati acaranya, beberapa berdiri di dekat panggung dan menari, Khloe memang memiliki suara yang bagus, tidak diragukan lagi.

Lalu tiba tiba, Khloe bilang akan menyanyikan sebuah lagu khusus kepada kami berdua, dan meminta kami untuk berdansa. Ia menyanyikan lagu dari Bryan Adams - Everything I do.

"Kalau kamu ga mau, gak apa-apa, kita bisa duduk disini saja", kataku.

"Gak, gak apa-apa, kita harus berdansa, malam ini adalah punya kita, dan dia hanya bisa melakukan hal manis tersirat seperti ini hanya sampai hari ini dan malam ini, karena mulai besok dan seterusnya hanya akan ada aku, aku yang ada di setiap pagimu ketika bangun dan malammu sebelum kamu tidur,"

Indira berdiri dan menarik tanganku, aku menariknya ke dalam pelukanku, lalu menghadiainya sebuah kecupan di bibir. Kami pun berjalan ke tengah, dan berdansa.

Aku tersenyum lebar, memeluk Indira dan tangannya menuntunku untuk bergerak mengikuti irama, berkali-kali aku menciumnya, dia menyandarkan kepalanya di pundakku, "Aku sayang sama kamu, kita kayak gini terus ya sampai nanti kita tua dan ga bisa ngapa-ngapain lagi, tetap cinta sama aku ya, tetap sehat dan kuat untukku dan anak-anak kita ya Ian" Indira berbisik, lalu menatap mataku. Mataku terasa panas, air mata seperti akan keluar dari mataku, aku mengangguk dan merapatkan pelukanku, lalu berbisik "I love you Indira, and I always do".

Khloe bernyanyi dengan nada-nada indah, kami tidak sendirian berdansa. Beberapa pasangan juga ikut berdansa. Malam ini aku akan mengenangnya sebagai satu dari malam-malam terbaikku, akan ku catat dalam buku kehidupanku dengan catatan kaki, untuk menjaga dengan sekuat tenagaku wanita yang sedang ada di dalam pelukanku ini. Indira.

"Aku tidak pernah menyangka, bisa ada disini denganmu. Melihat perjuanganku untuk memenangkan hati orangtuamu kalau aku bisa dan mampu, mengusahakanmu sedari aku masih belum punya apa-apa, dan terus dan tetap mengusahakanmu, karena kebahagiaanmu adalah prioritas utamaku. Aku sayang kamu, Ra" Aku melihatnya lebih dalam.

"Thankyou for choosing me, Ian. I love you and I always do", Indira sedikit berjinjit dan menciumi bibirku.

Sayup-sayup masih terdengar suara Khloe.
Kami kemudian berhenti berdansa, dan menikmati Khloe bernyanyi. Khloe memegang erat mikrofon, aku memegang tangan Indira dengan erat.

Terkadang hidup memang tidak selalu punya ending yang sama seperti yang kita mau, semesta ini memang senang bercanda, tapi ia tau yang terbaik selalu ia sediakan.

Canggu, Bali - 2017










Sabtu, 29 Agustus 2020

Mengunjungi Makam Ibu

Aku mencoba mengeluarkan beberapa ingatan kecil dari tumpukan buku yang belum tuntas aku baca di perpustakan kepalaku. Aku melihat catatan kecil ibu, catatan kecil yang ia tulis dengan tangannya sendiri detail ceritanya.

Ketika usiaku 14, aku pulang dari sekolah dengan sangat kesal karena aku dijaili, aku benci karena mereka menggodaku dengan seorang lelaki di kelas sebelah, katanya lelaki itu cinta, lelaki itu tiga tahun lebih tua dari aku. Lalu ibu tertawa di meja makan, itu kali pertama aku melihat cinta ditertawakan dengan sangat lebar. Setelah tawanya ia pelankan, aku yang masih memasang wajah cemberut di ujung meja makan, sembari tersenyum ringkas ibu bilang tertawalah karena cinta itu adalah bahagia, janganlah kamu terlalu banyak memikirkannya. 

Ibu adalah seorang yang sangat pengertian dan lembut hatinya, manis tutur kata dan perbuatannya. Ibu selalu bisa menenangkan suasana rumah yang sedang tidak baik-baik saja, ibu seperti penyimbang dan juga penghubung. Ibu adalah perempuan yang tau persis apa yang harus ia lakukan untuk berdiri menjadi tiang doa untuk rumah tangganya. Ibu punya pundak yang begitu kuat, untuk kami bertiga bersandar dan banyak orang diluar sana. Ibu tidak pernah mengeluh ketika bapak hanya pulang dengan uang seratus ribu rupiah ketika itu, ibu juga tidak menolak ketika bapak bilang hendak membuat kebun sayur mayur di depan rumah untuk menyambung hidup kami semua bahkan ia selalu membantu ketika tugasnya mengurus kami sudah selesai ia lakukan. Ibu tidak pernah berdebat soal siapa harus apa, atau siapa yang melakukan apa, sebab sebelum ayah dan ibu menikah dan melahirkan serta membesarkan kami mereka sepakat untuk menjadikan kami manusia yang bertindak bukan bertanduk, mereka menamkan pohon kemanusiaan di dalam dada kami.

Kuatku tidak cukup membuat ibu untuk tinggal lebih lama, doaku bahkan sudah kencang sekali tapi Pencipta seperti tidak mendengar, tepat disaat masih ada sisa sisa bau belerang di kotaku bekas kembang api dinyalakan untuk menyambut tahun baru ibuku menutup buku ceritanya di dunia. Sebelum ibu meninggal aku seperti diberi tanda, ia mengunjungiku dalam mimpiku, di mimpiku ibuku tertawa ketika peti yang berisi mayat bapak sampai di rumah, adik memahari ibu, membentaknya berulang kali tapi tetap saja ibu tertawa. Aku lalu menelfon ibu setelah bangun, mimpi itu tidak baik, sebab kata orang dulu-dulu kalau memimpikan seseorang yang tertawa saat sedang dalam suasana sedih itu tidak baik, seperti sebuah kelakar. Namun, tepat saat tahun baru tujuh tahun yang lalu, kelakar itu menjadi nyata.

Ibu meninggalkanku sesaat ketika ia mengajarkanku untuk melihat sisi lain dari cinta, ketika ada penolakan terhadap beberapa orang yang ia anggap mempunyai perasaan yang lebih dari teman kepadaku. Lalu, aku menjadi orang yang batu, dengan pemikiranku bahwa ibuku belum mengenalnya saja. Dan, aku terlalu keras kepala untuk tidak mendengarkan apa kata ibu, aku terlena dalam pikirku sendiri, nyatanya orang tua itu tau lebih banyak bahkan tentang dengan siapa anaknya harus bersama.

Ibu adalah oase di tengah rumah. Saat ibu tidak ada, beberapa sudut rumah menjadi kering dan hilang arah. Beberapa kali seperti badai gurun yang datang, menyapu pasir gurun dan membawa debu yang menyakitkan mata. Terkadang malam menjadi sangat singkat karena bapak harus bekerja, terkadang malam semakin panjang karena kami menangis di kamar masing-masing ketika sama-sama menjadi kera yang terus berteriak menyalahkan satu dengan yang lain. 

Tujuh tahun semenjak ibu tanggal, bapak tetap tinggal menghidupi kami di rumah yang kalian bangun bersama, takdir memaksa bapak untuk bekerja siang dan malam lalu kembali ke rumah dengan tubuh yang terus mengecil, bapak semakin pandai menyakiti hati wanita dan wanita-wanita itu seperti sangat menaruh harapan besar kepadanya, padahal yang aku tau pasti mereka tidak bisa menyayingimu. Tapi, bapak tetaplah orang baik, hanya saja mungkin dulu semasa kalian pacaran bapak tidak sempat merasakan hal itu, karena terlalu fokus untuk membuatmu bahagia dan menyusun masa depan denganmu. Ah. Terkadang aku dibuat pusing olehnya, terkadang aku muak menjadi manusia yang pura-pura bodoh, terkadang aku juga menjadi anak yang pembangkang. 

Aku lalu berpikir seandainya ibu masih ada, mungkin bapak tidak akan terlalu seperti ini. Kami akan baik-baik saja, dan kami akan terus bahagia walau sesederhana duduk di balkon rumah dan melihat sore. Dalam pikiranku yang kalang kabut, ingin rasanya aku berlari ke makam ibu dan menggali kuburnya, namun cepat-cepat aku sadari yang akan ku dapatkan hanyalah tulang belulang. 

Aku ingin bertanya kepada ibu, darimana aku bisa menemukan hati yang begitu lapang untuk menerima dan memaafkan, lalu merangkul kembali. Mengapa aku tidak bisa melakukan itu, karena setiap kali kabar burung itu sampai di telingaku, hariku akan berubah menjadi kelabu, aku akan menjadi monster yang tidak bisa berlemah lembut kepada siapapun. Betapa ibu sungguh tegar dan memahami betul bahwa keutuhan rumah tangga adalah yang utama, bahwa anak anak adalah alasan ia terus berjuang. Ibu, aku ingin mencuri hatimu walau itu hanya secuil.

Ibu, satu-satunya yang ku sesali selepas pergimu adalah aku tidak belajar terlalu banyak tentang hidup yang seperti bajingan ini, mereka seumpama landak yang tidak punya teman. Aku tak cukup membaca peta agar tidak tersesat saat hidup memilih untuk mengubah arah mata angin. Hingga kini, aku masih terus memikirkan kalimatmu tempo hari, bahwa cinta sebaiknya ditertawakan saja, apakah itu semacam mantra penenang bagimu?

Tapi ibu, bapak masih suamimu yang saban subuh bangun menemui sang pencipta di syafaatnya, namun kini bapak punya dua doa, satu doa menyentuh kami doa yang lainnya hendak mendaki tangga langit menemuimu. Ibu, bapak semakin tua dan renta, raut wajahnya mulai mengkerut, sinar matanya seperti meredup selepas pergimu, rambutnya memilih untuk menjadi putih, maka izinkanlah aku anak perempuanmu satu-satunya menggantikan tugasmu, menjadi pohon mangga di dalam rumah, yang darinya diberikan kesejukan, dari rindangnya kau temukan tempat berteduh dan dari buahnya kau temukan rasa rasa kehidupan, asam dan manis, katamu tempo hari.

Hari sudah sore, sebentar lagi gelap datang, aku meletakan seikat bunga mawar biru kesukaanmu, seraya mencium nisanmu, lalu kembali pulang mencium pipi ayah beribu-ribu, seperti yang ibu lakukan.


Selamat ulang tahun ke 56 ibu, 2 Agustusmu akan ku kenang nanti sebagai hari yang baik.