Jumat, 13 Januari 2023

Belum tau Judulnya Apa

 “… terlalu merasa benar, dan terkadang melangkahi lantas kurang mengerti dan egois”.


Sebuah kalimat yang cukup menohok di malam tadi. Seperti sebuah makanan keras yang di paksa untuk di telan. Di lontarkan oleh seseorang.

Manusia — insan yang selamanya akan benar menurut cerita versi dia.

Lalu ini adalah versiku, entah dia seperti apa.

Di suatu hari yang sangat lelah dan burn out, saya memilih pulang dan tidur setelah bersih-bersih. Lumayan lama tidurku, 6 jam yang cukup. Pikirku sudah lumayan enakan, lalu aku bangun dan hendak makan. 

Sudah merasa aneh dengan badanku sendiri. Moodnya berantakan, tapi harus tetap bersosialisasi karena aku bukan dia, yang kalau marah semuanya akan di diamkan. Aku akan tetap ramah kepada yang lain, karena masalahnya adalah aku sendiri yang tidak perlu orang lain kena getahnya.

Setelah semuanya selesai, sore hari aku tertidur lagi. Masih dengan mood yang berantakan dan isi kepala yang sangat ribut, 1 jam tidurku cukup tapi lelah.

Pelan-pelan aku menata moodku. Berharap akan baik-baik saja. Ku dapati sebuah pesan di layar ponsel, aku baca, lalu bertanya. Masih di jawab dengan baik, ku balas pun dengan baik. Pikirku adalah bercanda, maksudnya dia mungkin tidak. Begitulah dua kepala yang beda cara berpikir yang harus di paksakan untuk satu pada akhirnya. Cekcok sana sini dan lalu keluarlah kalimat yang cukup membuatku terdiam beberapa saat.

Aku adalah manusia yang sangat pandai mengatur amarahku, karena aku tidak mau hari-hariku di habiskan dengan energi kesal yang aku keluarkan terlalu banyak. Aku akan memilih diam dan tidur untuk menenangkan amarahku, tapi tidak dengan dia. 

Kalimatku di anggap seperti “singgungan” yang ternyata kena sekali di perasaannya. Maksud aku ke A, tapi ngertinya ke B.

Lalu muncul sebuah kalimat baru di balik kalimat “aku baik-baik saja” — “bintang jatuh yang egois”.


Jika ku runut satu-satu, di sisi hidup yang mana aku terlihat egois dan tidak mengerti. Bahkan hal-hal minor yang tidak terlihat orang lain pun aku mengerti dan menerima semuanya, karena kasih aku terlalu besar, cintaku terlalu luas. Dengan lapang dada aku menerima dan pelan-pelan aku ajarkan bagaimana baiknya hidup di dunia tipu-tipu ini, sesekali aku diajarinya, aku pun menerima. 

Aku coba mempersempit kalimat “kurang mengerti dan egois”, tapi tidak ku temukan ujungnya. Karena sehematku, bahkan sampai urusan kamar mandinya pun aku urusin. Lihatlah betapa aku menjadi budak cinta. Betapa aku terlalu menyayanginya seperti aku menyayangi diriku sendiri.


Aku, wanita yang sangat sensitif. Sangat perasa dan terlalu berpikir untuk hal-hal yang tidak penting. Satu kata yang menurutku “kasar”, itu menjadi luka yang tidak sengaja di goreskan di hatiku. Sebenarnya itu adalah hal yang tidak wajar, tapi Tuhan begitu iseng menciptakan manusiaNya, di berikanNya aku banyak warna merah, putih, hitam dan abu-abu dari sekian banyak warna. Setiap saat makin banyak warna merah yang mengisi bagian warna putih yang kemudian warna merah itu akan menghitam. Pertanda akan ada banyak rasa yang secara tidak sengaja di eliminasi alam bawah sadarku untuk tidak lagi di rasakan. Dan dari yang ku pelajari tentang diriku sendiri, jika sudah hampir penuh warna hitam itu di bagian warna putih dan menyentuh ke warna abu-abu, aku memilih mundur. Karena warna abu-abu adalah satu-satunya area yang aku tidak biarkan orang lain menyentuhnya, satu-satunya area yang membuatku tetap sadar kalau aku harus tetap waras untuk hidupku yang penuh warna di kemudian hari.

Yah sebaiknya di diamkan saja bila penuh isi kepalamu. Tidak semua orang bisa di paksa mengerti, ada kalanya juga dia yang selalu mengerti ingin di mengerti, coba sesekali bertanya, apakah si senang itu pernah menyimpan sedihnya? Karena ada banyak orang yang pandai menyimpan lukanya sendiri.

Dia pernah memimpikan hidup bahagia denganmu, tapi dia membawa banyak hal yang sebenarnya bukan hal yang harus kamu pikul bersama. Karena dua menjadi satu itu bukanlah hal sesimpel itu, tidak semua beban masa lalunya harus dia bagi sebagai tanggunganmu. Karena mungkin kamu pun tidak akan membebankan dia dengan masalahmu. Makanya komunikasi di awal.

“Tapi akhir-akhir ini bukan hanya masalah komunikasi, tapi bagaimana caranya mengerti”. Pernah ku baca di updatenya.

Kalau tidak mengerti, tidak mungkin dia ada dan membantumu berpikir, bukan sumbangsih material yang di berikan, tapi telinganya dan waktunya itu adalah hal yang sangat sangat berharga yang ia berikan. 

Akhirnya aku mulai mengerti kenapa kita pisah dulu, karena kamu selalu dengan pengertianmu, aku pun demikian. Kamu akan selalu menganggapku si otoriter, sementara aku menganggapmu adalah si player terbaik. Lalu, apakah mau kita ulang lagi bagian hidup yang itu, apakah kita harus belajar mendewasa di rumah yang lain lagi lalu berharap semesta akan mempertemukan lagi dengan versi terbaik kita setelah sudah di berikan kesempatan kedua ini? Atau kita akan berbicara dari hati ke hati, apa yang mesti kita sama-sama rubah agar kita tetap baik-baik saja?


Ah, entahlah. Aku terlalu capek memikirkan hormonku yang naik turun bak roller coaster ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar