Sabtu, 29 Agustus 2020

Mengunjungi Makam Ibu

Aku mencoba mengeluarkan beberapa ingatan kecil dari tumpukan buku yang belum tuntas aku baca di perpustakan kepalaku. Aku melihat catatan kecil ibu, catatan kecil yang ia tulis dengan tangannya sendiri detail ceritanya.

Ketika usiaku 14, aku pulang dari sekolah dengan sangat kesal karena aku dijaili, aku benci karena mereka menggodaku dengan seorang lelaki di kelas sebelah, katanya lelaki itu cinta, lelaki itu tiga tahun lebih tua dari aku. Lalu ibu tertawa di meja makan, itu kali pertama aku melihat cinta ditertawakan dengan sangat lebar. Setelah tawanya ia pelankan, aku yang masih memasang wajah cemberut di ujung meja makan, sembari tersenyum ringkas ibu bilang tertawalah karena cinta itu adalah bahagia, janganlah kamu terlalu banyak memikirkannya. 

Ibu adalah seorang yang sangat pengertian dan lembut hatinya, manis tutur kata dan perbuatannya. Ibu selalu bisa menenangkan suasana rumah yang sedang tidak baik-baik saja, ibu seperti penyimbang dan juga penghubung. Ibu adalah perempuan yang tau persis apa yang harus ia lakukan untuk berdiri menjadi tiang doa untuk rumah tangganya. Ibu punya pundak yang begitu kuat, untuk kami bertiga bersandar dan banyak orang diluar sana. Ibu tidak pernah mengeluh ketika bapak hanya pulang dengan uang seratus ribu rupiah ketika itu, ibu juga tidak menolak ketika bapak bilang hendak membuat kebun sayur mayur di depan rumah untuk menyambung hidup kami semua bahkan ia selalu membantu ketika tugasnya mengurus kami sudah selesai ia lakukan. Ibu tidak pernah berdebat soal siapa harus apa, atau siapa yang melakukan apa, sebab sebelum ayah dan ibu menikah dan melahirkan serta membesarkan kami mereka sepakat untuk menjadikan kami manusia yang bertindak bukan bertanduk, mereka menamkan pohon kemanusiaan di dalam dada kami.

Kuatku tidak cukup membuat ibu untuk tinggal lebih lama, doaku bahkan sudah kencang sekali tapi Pencipta seperti tidak mendengar, tepat disaat masih ada sisa sisa bau belerang di kotaku bekas kembang api dinyalakan untuk menyambut tahun baru ibuku menutup buku ceritanya di dunia. Sebelum ibu meninggal aku seperti diberi tanda, ia mengunjungiku dalam mimpiku, di mimpiku ibuku tertawa ketika peti yang berisi mayat bapak sampai di rumah, adik memahari ibu, membentaknya berulang kali tapi tetap saja ibu tertawa. Aku lalu menelfon ibu setelah bangun, mimpi itu tidak baik, sebab kata orang dulu-dulu kalau memimpikan seseorang yang tertawa saat sedang dalam suasana sedih itu tidak baik, seperti sebuah kelakar. Namun, tepat saat tahun baru tujuh tahun yang lalu, kelakar itu menjadi nyata.

Ibu meninggalkanku sesaat ketika ia mengajarkanku untuk melihat sisi lain dari cinta, ketika ada penolakan terhadap beberapa orang yang ia anggap mempunyai perasaan yang lebih dari teman kepadaku. Lalu, aku menjadi orang yang batu, dengan pemikiranku bahwa ibuku belum mengenalnya saja. Dan, aku terlalu keras kepala untuk tidak mendengarkan apa kata ibu, aku terlena dalam pikirku sendiri, nyatanya orang tua itu tau lebih banyak bahkan tentang dengan siapa anaknya harus bersama.

Ibu adalah oase di tengah rumah. Saat ibu tidak ada, beberapa sudut rumah menjadi kering dan hilang arah. Beberapa kali seperti badai gurun yang datang, menyapu pasir gurun dan membawa debu yang menyakitkan mata. Terkadang malam menjadi sangat singkat karena bapak harus bekerja, terkadang malam semakin panjang karena kami menangis di kamar masing-masing ketika sama-sama menjadi kera yang terus berteriak menyalahkan satu dengan yang lain. 

Tujuh tahun semenjak ibu tanggal, bapak tetap tinggal menghidupi kami di rumah yang kalian bangun bersama, takdir memaksa bapak untuk bekerja siang dan malam lalu kembali ke rumah dengan tubuh yang terus mengecil, bapak semakin pandai menyakiti hati wanita dan wanita-wanita itu seperti sangat menaruh harapan besar kepadanya, padahal yang aku tau pasti mereka tidak bisa menyayingimu. Tapi, bapak tetaplah orang baik, hanya saja mungkin dulu semasa kalian pacaran bapak tidak sempat merasakan hal itu, karena terlalu fokus untuk membuatmu bahagia dan menyusun masa depan denganmu. Ah. Terkadang aku dibuat pusing olehnya, terkadang aku muak menjadi manusia yang pura-pura bodoh, terkadang aku juga menjadi anak yang pembangkang. 

Aku lalu berpikir seandainya ibu masih ada, mungkin bapak tidak akan terlalu seperti ini. Kami akan baik-baik saja, dan kami akan terus bahagia walau sesederhana duduk di balkon rumah dan melihat sore. Dalam pikiranku yang kalang kabut, ingin rasanya aku berlari ke makam ibu dan menggali kuburnya, namun cepat-cepat aku sadari yang akan ku dapatkan hanyalah tulang belulang. 

Aku ingin bertanya kepada ibu, darimana aku bisa menemukan hati yang begitu lapang untuk menerima dan memaafkan, lalu merangkul kembali. Mengapa aku tidak bisa melakukan itu, karena setiap kali kabar burung itu sampai di telingaku, hariku akan berubah menjadi kelabu, aku akan menjadi monster yang tidak bisa berlemah lembut kepada siapapun. Betapa ibu sungguh tegar dan memahami betul bahwa keutuhan rumah tangga adalah yang utama, bahwa anak anak adalah alasan ia terus berjuang. Ibu, aku ingin mencuri hatimu walau itu hanya secuil.

Ibu, satu-satunya yang ku sesali selepas pergimu adalah aku tidak belajar terlalu banyak tentang hidup yang seperti bajingan ini, mereka seumpama landak yang tidak punya teman. Aku tak cukup membaca peta agar tidak tersesat saat hidup memilih untuk mengubah arah mata angin. Hingga kini, aku masih terus memikirkan kalimatmu tempo hari, bahwa cinta sebaiknya ditertawakan saja, apakah itu semacam mantra penenang bagimu?

Tapi ibu, bapak masih suamimu yang saban subuh bangun menemui sang pencipta di syafaatnya, namun kini bapak punya dua doa, satu doa menyentuh kami doa yang lainnya hendak mendaki tangga langit menemuimu. Ibu, bapak semakin tua dan renta, raut wajahnya mulai mengkerut, sinar matanya seperti meredup selepas pergimu, rambutnya memilih untuk menjadi putih, maka izinkanlah aku anak perempuanmu satu-satunya menggantikan tugasmu, menjadi pohon mangga di dalam rumah, yang darinya diberikan kesejukan, dari rindangnya kau temukan tempat berteduh dan dari buahnya kau temukan rasa rasa kehidupan, asam dan manis, katamu tempo hari.

Hari sudah sore, sebentar lagi gelap datang, aku meletakan seikat bunga mawar biru kesukaanmu, seraya mencium nisanmu, lalu kembali pulang mencium pipi ayah beribu-ribu, seperti yang ibu lakukan.


Selamat ulang tahun ke 56 ibu, 2 Agustusmu akan ku kenang nanti sebagai hari yang baik.


Selasa, 04 Agustus 2020

Dalam Patahku, Tumbuhmu

Semalam tadi kita bercerita banyak, tentang banyak hal yang mungkin saja terjadi di hari depan. Kamu dan masa depanmu, aku dan masa depanku, lalu beberapa kali kita membicarakan hal tentang kita. 
Ah,
Kita?
Sesuatu yang masih ku raba-raba lagi tentang maknanya, yang masih abu-abu kelihatannya, tapi aku iyakan saja, beberapa aku berikan aminku karena mungkin aku pun menginginkannya, tapi sungguh tidak terlalu. 

Dulu aku pernah menaruh harap sangat besar kepada banyak hal tentang kita, lalu kemudian buyar dan hilang begitu saja.
Entah apa yang harus ku jelaskan tentang bagaimana caranya semesta mematahkan hatiku sekali lagi.

Tentang kisahku yang kemarin, aku sedih. Tentu saja akan sedih, sekian lama terjalin akhirnya harus pisah juga. Tapi sedihku hanya semalam, ketika kami bertengkar, mungkin aku menangis karena aku yang membaca chat yang begitu kasar atau karena aku kehilangan, tapi kemudian di besok harinya aku bahagia sampai akhirnya kamu datang memperkenalkan dirimu lagi kepadaku.

Aku mengenal orang ini tapi dulu sekali, orang yang datang membawa dirinya untukku kenal lagi. Yang ia bawa adalah dirinya sendiri, hatinya yang sudah tidak berbentuk, isi kepalanya yang begitu absrud, beberapa keyakinan dan kenangan serta rindu. 

Orang ini adalah seseorang yang begitu mematahkan hatiku, membuatku menjadi pembenci yang jahat tapi terkadang ia membuatku menjadi perindu yang payah. Aku pikir dulu itu, tujuh tahun yang lalu hatiku telah membereskan banyak hal dengannya, semua tentangnya sudah tidak ada tapi rasanya hatiku tidak mendengarkan apa yang otakku perintahkan, diam-diam ia menyimpan beberapa potong tentangnya di sudut hati aku menyimpan banyak hal, yang biasanya hanya aku sendiri yang aku kunjungi, tapi herannya dulu itu aku selalu mengunjungi bagian hati yang itu, hanya saja aku tidak menemukan adanya dia.
Dan orang ini adalah orang yang dengan polosnya aku bisa jatuh cinta kepadanya dan mengatakan hal ini, "Silahkan kamu pergi kemana saja, berlabuh di dermaga mana saja yang kamu suka, silahkan. Suatu hari nanti, kalau kamu sudah lelah berlabuh di banyak hati, pulanglah kesini, aku menunggumu disini". Aku mengatakan kepadanya berkali-kali dulu, yang diyakini banyak orang adalah doa yang di dengar Tuhan. 

Tiga tahun belakangan ini, aku percaya kalau Tuhan itu sungguh mendengar banyak doa kita, doa-doa yang bahkan secara tidak sengaja kita ucapkan, beberapa mimpi kita yang hanya sekedar bermimpi saja terkadang ia mencatatnya dan mengabulkannya. Yang aku percaya Ia adalah Bapa yang baik, yang tentu mau yang terbaik juga untuk anak-anakNya, jika menurutNya doa-doa kita, ucapan tidak sengaja kita dan mimpi kita itu adalah baik maka tidak mungkin juga Ia akan bekerja untuk membantu mewujudkannya.

Sore ⎼⎼ Waktu Indonesia Tentang kIta
"Aku hanya ingin kita tetap baik-baik saja dalam cinta yang baik". ⎼⎼ Katamu tempo hari.
Menjadikanmu teman berbagi, satu dari sekian banyak yang membuatmu kembali kepadaku.


 ***

Beri aku waktu untuk memahamimu, untuk mengerti tentangmu sekali lagi. Aku hanya tak ingin semua hal yang sudah kita usahakan ini berakhir sia-sia, terkadang aku hanya merasa belum terlalu mampu menerjemahkan inginmu, menafsir tuturmu dan menangkap kilatan cahaya di matamu. Hal-hal yang terkadang membuat aku menjadi salah dan kita akhirnya salah paham. 

Setelah mengumpulkan banyak percayaku yang tidak lagi sebanyak dulu kepadamu, dan menepis beberapa raguku kepadamu, jauh di lubuk hati yang terdalam aku tak ada niat sedikitpun untuk menyudahi semua yang baru kita mulai, sementara kita usahakan dan perjuangkan menjadi sia-sia. Aku ingin kita tetap menjadi kita. Dua orang yang terus belajar saling memahami dan memilih untuk bertahan tanpa pernah ingin pergi. 

"Kamu jangan marah-marah melulu, sesungguhnya semua ketidaksediaanmu membuatku semakin takut kehilanganmu, aku takut kita menjadi dua orang yang saling menyakiti, dan membunuh banyak harap atas semua hal yang sudah kita perjuangkan. Yang aku inginkan, kamu memberiku kesempatan untuk terus bersamamu. Jika salah menerpaku, semangatlah kamu untuk mengingatkanku dan menegurku. Jika yang terjadi itu kepadamu, terimalah dengan senang hati semua yang aku katakan kepadamu" ⎼⎼⎼ katamu biasanya ketika aku terlalu kesal dengan semua tingkahmu.

***

"Aku hanya ingin kita tetap baik-baik dalam cinta yang baik. Meski mungkin bukan pasangan yang terbaik, kita tidak seharusnya menjadikan kisah ini menjadi cerita yang buruk. Yakinkan dirimu, bahwa hanya aku manusia yang menginginkanmu. Pahami dengan hatimu, kita adalah dua orang yang terlahir untuk saling belajar memahami. Kita ada untuk menjaga apa saja yang kita jadikan rencana. Mari saling menguatkan, jika salah satu dari kita mulai lemah. Mari saling mengingatkan jika salah satu dari kita salah. Jangan menunda-nunda mengingatkan! tak ada gunanya membuat salah satu diantara kita menerka-nerka tanpa pernah sadar apa yang menjadi penyebab dari luka. Jika kamu merasa tersakiti, katakan saja dengan sejujurnya. Barangkali aku, tak menyadari apa yang aku perbuat adalah hal yang menjadikan hatimu sedih tak terlihat. Kamu adalah seseorang yang sangat lihai memendam rasa, bahkan aku yang begitu fasih mengenalmu tak mampu menembus tembokmu yang satu itu, jangan ya sayang, jangan memendam luka, sebab bisa saja tumbuh menjadi dendam dan melahirkan lagi luka. Aku pun ingin belajar dari hari ke hari. Aku ingin menjadikan semuanya menjadi lebih baik lagi. Menjadikanmu teman berbagi, juga bagian dari segala rencana yang ingin kuwujudkan nanti", katamu tempo hari. 

Dulu aku adalah orang yang selalu mengatakan ini, mencoba meyakinkan hati yang sangat sulit untuk ku yakinkan, hati yang selalu aku terka apa maksudnya dan bagaimana suasananya. Hati yang begitu keras tapi berhasil ku lembutkan di satu sisi, tidak semua. 

Aku tidak menyalahkan kisah kemarin, aku berterima kasih kepadanya karena darinya aku belajar menjadi seseorang yang seperti sekarang. Seseorang yang lebih banyak sabar dan tidak begitu berapi-api, dan termasuk menjadikan aku seseorang yang belajar lagi mencintai diri sendiri, hati yang kemarin aku jaga pun itu menjadikanku seseorang yang mencintai tidak seluruh, bukan berarti aku mencintai tidak sepenuhnya, tapi aku simpan setengah hatiku untuk tetap mencintai aku kalau-kalau di suatu hari nanti semesta kembali bercanda dengan hatiku, aku punya back up, mungkin untuk aku bisa tetap waras dan hidup.

***

Terima kasih untukmu, yang menjadi teman telfonku berjam-jam ketika larut malam. Ah kamu sangat pandai membuatku merindu. 
Menjadi diriku sendiri, walau malu-malu tapi terima kasih telah menjadi temanku berbagi setiap hari.
Semoga kita tetap begini, selamanya ya kita wahai manusia lama.