Minggu, 30 November 2014

Selamat Pagi 30 November

Saya sedang berpikir tentang sebuah pengalaman memiliki seseorang. Saya pernah menulis bahwa sebenarnya mungkin saya atau juga kamu yang membaca tulisan ini tidak pernah benar-benar bisa memiliki seseorang.

Untuk alasan cinta mati sekalipun. Kita tidak bisa memiliki seseorang. Karena setiap orang punya “free will” hal inilah yang pada akhirnya memiliki kita. Sedangkan cinta bagi saya juga punya “free will”-nya sendiri. Seperti cupid yang memanah. Ia hanya memanah. Tidak pernah merencanakan targetnya siapa.

Perjalanan dengan seseorang sepanjang hidup. Pahit dan manis. Patah hati tidak membuat saya dan kamu kapok jatuh cinta. Bagi saya berjalan dengan seseorang bukan persoalan fisik dimana saya akan eksis kelihatan berdua. Atau akan “eksis” ketika “kelihatannya” punya pacar. Lalu kemudian pacaran itu hanya sebatas “status” di facebook.

Ketika saya punya pengalaman bersama dengan seseorang itu seperti kisah. Kisah mengucap selamat pagi. Kisah bercerita sebelum tidur. Lalu seseorang itu bukan hanya pasangan. Tetapi kami adalah sahabat. Yang punya pengalaman bercinta yang hebat. Kemudian kami akan tertawa-tawa sampai pagi dengan bir.

Idealnya sih begitu. Seiiring dengan pengalaman. Saya kadang terlalu banyak dengar. Dia terlalu banyak cuek. Saya terlalu liar. Dan dia anak baik-baik. Seperti tidak seimbang. Kami seperti ada di frekuensi yang berbeda. Haha.

Bagi saya pasangan bukan superhero. Ia tidak perlu seperti batman atau superman. Ia hanya perlu ada di sana mengucap selamat pagi dan bercerita kembali sampai pagi setelah bercumbu lama.

"Nothing to prove, and it's you and me and all other people. And I don't know why, I can't keep my eyes off of you. What day is it? and in what month? This clock never seemed so alive." Pernah tau kalimat itu? Yeah. Itu lyric lagu You and Me, Lifehouse. 


Lagu ini mengingatkan kembali. Semacam tanda. Membawa saya kembali ke waktu-waktu yang sudah jauh berlalu. Ketika saya dapat mengingat segala sesuatunya dengan detail. Bagi saya detail itu penting. Hal-hal kecil yang bagi orang lain tidak penting.

Bahwa jatuh cinta adalah tentang detail. Bagaimana kamu mengingat sepatu kesayangan. Bau kesayangan. Tatapan mata kesayangan. Cara mengerutkan alis. Cara berbicara. Intonasi. Respon. Semua yang pernah saya catat dalam kepala.

Bahwa ketika saya jatuh cinta saya mencatat segala sesuatunya dengan detail dalam kepala saya. Mengingatnya. Dan tidak pernah lupa. Ketika semalam ketika saya mendengar lagu itu kembali. Lifehouse. You and Me. Ada rona hangat yang tiba-tiba menjalar dari hati ke pipi saya. Saya tidak dapat melihat warnanya apa. Tapi saya bisa merasakan hangatnya dengan jelas. Saya membaca itu sebagai tanda. Bukan banyak tanda. Tetapi hanya sebuah tanda.

Jauh di dalam hati saya yang paling dalam saya percaya bahwa hidup adalah persoalan membaca tanda. Tinggal bagaimana saya menjadi pintar dan membaca tanda-tanda yang datang kepada saya. Masalahnya kadang-kadang saya tidak terlalu pintar.

Tanda yang datang itu seperti teka-teki. Puzzle kecil-kecil. Yang akhirnya akan saya susun sebagai apa. Disesuaikan.

Paling tidak begini, saat ini saya perlu menyiapkan hati ketika tanda-tanda itu datang menghampiri. Saya harus pintar membacanya. Mungkin tanda itu berupa sebuah lagu yang singgah pada kupingmu pada suatu malam. Lifehouse. You and Me. Dengan pemandangan Jakarta dari ketinggian gedung di malam hari. Lampu-lampu malam di kejauhan. Ada perasaan hangat yang kemudian muncul dari perutmu ke hati lalu ke pipi.

Hidup adalah persoalan membaca tanda. Setuju-setuju atau tidak setuju. Tanda-tanda itu akan menghampiri siapapun yang percaya. 

Jumat, 21 November 2014

Di Bawah Kaki Langit, Biarkan Hati Ini Bersuara

Saat ini aku tak mampu melukiskan perasaanku, tak mampu kurangkaikan kata lewat bibirku dan tak bisa lagi ku merajut angan indah tentangmu. Kini aku hanya satu hal dalam hidup, merindukanmu. Merindukanmu adalah hal yang tak mampu ku elak kan, kini kerinduan itu menyebar dalam hatiku dan menggerogoti setiap sudut rasa ini. Hingga angan, pikiran, dan perasaan menjadi satu tujuan dan satu arah.
Merindukanmu, hanya kata itu yang tersisa dalam benak yang telah lama terpaku dalam tembok kegundahan, jika aku dapat memilih aku akan yakin kan hidup ku untuk ku. Lebih baik aku hidup bersamamu walau hanya dalam kesederhanaan daripada aku harus melalui seribu tahun tanpamu di sampingku. Mungkin itu konyol, tapi percayalah hari ini ku rangkai kata-kata melalui rasa, dan urai dalam satu hal ketidakpastian yaitu, kerinduan. Dan jika aku dapat mengungkapkan ini, aku hanya ingin kau tau bahwa dari dulu hingga detik ini aku menulis ini, aku sangat mencintaimu. Seperti yang dulu.
Sepenuhnya aku adalah kamu. Dan aku masih berdiri tegak disini untukmu walau aku rapuh karena rinduku tak terbalaskan. Namun aku tetap bertahan, karena cinta dan janji itu terus mengairi hati yang mengering. Dan hari ini, aku ingin kau tau aku merindukan sosokmu dalam sebuah pelukan.

Lihatlah aku disini, saat ini aku sendiri sepi berteman dengan sunyi tanpa sebuah arti. Taukah kamu, disini ku menggenggam rindu? salahkah aku jika aku melamunkamu ?
Dalam hayal lamunanku, kamu tersenyum dari kejauhan. Kamu mendekapku dalam bayang. Terasa dekat tapi jauh. Dan itu sakit.
Aku mencoba mengarungi hari dengan sebuah perasaan resah dan gelisah. Berusaha mendamaikan rasa hati ini.

Seperti indahnya pelangi selepas hujan, ku kenang segala indah saat-saat bersamamu. Saat hatiku masih lekat dengan jiwamu, tak mampu ku sapa tiap jiwa yang datang dengan tulus. Mengharap tentang purnama, bias ku toreh segala rasa yang ada. Pada sudut Sang Mega, segala rindu dalam jiwa. Tak mampu untuk menyalahkan waktu, hanya seayun kata mampu ku pendar.
Apa hakikat di balik misteri? kilatan rindu yang menyambar mampu pijarkan seruas hati bisu, inginku untuk kembali jumpa.

Dulu indah betapa ku rasa, syahdu terasa berlalu pilu menyisa mengalunkan tangis kini sendiri di antara puing-puing kehancuran yang berserakan. Lagu berubah menjadi sedih, melayu mendayu kembali merayu. Semenjak kehilangan paru, dimana perhatian itu kini? bayang-bayang tinggal menghiasi. Hilang sudah pelangi panjang membentang rasa sekejap saja, hati ini bagai di jemput lalu di lempar tak kasihan ke neraka.
Apa yang menusuk dada ini? sakit begitu kurasa. Tinggallah jiwa ini dalam kegelapan. Prahara datang, engkau hilang dan tersapu jejak dibawa angin pergi jauh. Hanya menyisakan kenangan dan air mata kala rindu meyapa.

Boleh aku meminta sesuatu di akhir bulan indah ini? hanya satu jam untuk aku. Duduk diam disini dan berbagi tentang rindu ini.
Masih tentang senja, yang selalu berteman dalam diam. Seolah aku menjadi orang yang paling sepi di dunia ini.
Dengan senja aku bercermin, paras kusam kudapat dari biasnya. Berdiri aku mencari pendirian. Berjalan aku ingatkan kenangan, kelak hidup ku tersenyum riang. Namun semuanya telah berakhir, tak ada lagi yang ku rasa seperti kemarin. Aku telah berada dalam ruang yang sangat aku benci.
Bila ku ingat lagi, aku benci ruangan, aku benci teriakan, aku benci air mata, aku benci desahan nafas, aku benci jeritan, aku benci bunyi tiit tiit dan hening lalu banyak suara. aku benci pojokan dan berteriak. Aku benci kata perpisahan, tak ingin ku dengar adanya selamat tinggal dunia mimpi. lagu macam apa ini yang nadanya tak beraturan ini. Bodoh!

Masih bolehkah aku bercerita dengan senja ?
Di senja yang sunyi ini, ku lukiskan sebuah pelangi. Kau bukakan lembar cerita tentang rindu ini dan senyummu menghiasi setiap kali pena ini menari di atas kertas. Ku rasakan pelukanmu yang melekat dalam palung hatiku, bayangmu menemaniku. Kita bernyanyi bersama, di lantunan cerita. Engkau adalah teman senjaku, yang selalu menemaniku dalam hangatmu dan selalu membuatku merasakan bahwa dunia ini masih ada keindahan walau hanya ku nikmati sebentar saja.

Dan senja itu perlahan hilang, membentuk warna merah jingga kuning apapun itu aku nikmati dan tak terlewatkan karena terlalu indah.
Aku kembali sendiri, aku berdiri ditepi lembah sunyi tanpa siulan angin malam. Hatiku gerah tak bersejuk, lembut sapaan bayu tak bertaut.
Pucuk-pucuk ilalang itu terdiam, aku bingung kenapa mungkin karena dia begitu terkagum karena aku begitu bodoh karena selalu meyesali hari. Tiada kudengar bergemerisik. Dedaunan kayu mahoni itu gelisah menanti raut mukaku berubah.
Sendiri, hampa, diam, sepi, benci aku dalam sandiwara. Aku laksana mereka yang gelisah, tengadah harap dalam hati. Menanti sepoi menyentuh kalbu, dan keriuhannya pengisi hati.
Duhai kau sang dewa siang, dapatkah kau terangi malam ini, hilangkan gelapnya. Nyalakan lenteramu, agar tak ada orang yang melihat bahwa aku menghitung rindu dan membiarkan air mata tetap terjatuh karena rindu ini memuncak. Biarkan rinduku tertiup angin, biarkan dia sampai ke pemilik rindu ini, agar dia dapat merabanya dan tau sudah berapa banyak coretan senja yang dia lewati.

Dengarlah kamu sang pemilik rindu ini, bawalah aku kedalam ketenanganmu. Sirami aku dengan sajak-sajak yang baru walau hanya kurasa semu. Lihatlah aku walau hanya di pelupuk matamu, sekilas saja menyentuh kalbuku walau kau tiada menahu aku. Tersirat aku, ingin hati ini membunuh rindu karena tak terbalaskan. Sejenak tolong peluklah aku dari kejauhan waktu dan tempat yang berbeda. Sejenak saja agar ku lepaskan bebanku.