Selasa, 03 Agustus 2021

Sesuatu yang di Depan Mata

 Setahun lebih memilih untuk pulang dan tinggal disini.

Ada pertanyaan yang sampai sekarang belum saya temukan jawabannya “apakah saya akan tinggal lebih lama lagi disini?” — pertanyaan yang hampir selalu saya tanyakan pada diri sendiri. Kembali ke Jakarta, lalu bertolak ke Gorontalo melanjutkan hidup, lantas melupakan semua pertanyaan itu. Saat pandemic yang berkepanjangan, alam bawah sadarku menuntunku kembali kesini. Kembali ke kota ini. Kota kecil yang punya sore yang manis, city light yang meneduhkan, warganya yang saling kenal satu dengan yang lain dan mulai ramai dari terakhir saya pulang. 

Semenjak pulang, hati kecil saya terus di buat gusar dengan pertanyaan saya dulu. Lalu, ternyata menjadi dewasa dan diam di rumah saja adalah kegiatan yang tidak baik. Saya lantas bekerja, hanya untuk “menghibur” diri. Setidaknya saya beraktivitas. 

Ada beberapa hal yang tidak bisa saya lakukan disini seperti dulu saat saya di Jakarta; pergi makan sendirian, ke mall sendirian cuman muter-muter doang, minum kopi sendiri di taman, belanja buku dan kopi bubuk. 

Tapinya, saya sering ke pantai kalau disini. Makan bakso setiap sore, jalan-jalan ngiterin kota saat tengah malam, menepi di batas kota hanya untuk merenung. — dan saya belum menemukan jawabannya.


Saya tidak punya banyak teman lagi. Lebih tepatnya, saya yang tidak mau terlalu banyak punya teman dan relasi. Itulah resiko jika seseorang bertambah tua, dia akan mengurangi untuk terlibat dengan banyak drama tidak penting.

Saya punya kekasih yang terus saya ganggu dan ajak diskusi tentang apa saja setiap saat. Dan menurut saya itu lebih dari cukup.

Lingkaran pertemanan saya hanya sebatas teman lama saya dan teman kerja saya. Kami lebih banyak membahas hal-hal ringan di luar kerjaan dan beberapa gosip. Dan itu sudah cukup.

Saya mulai memasak banyak makanan yang tidak bisa saya temui di kota ini. Beberapa tempat makan di kota ini bisa memasaknya tapi rasanya tidak sama. Selera lidah saya jadi makin tidak sama. Kecuali kopi mereka masih juara. Saya beberapa kali memasak untuk papa, aldi dan mereka di rumah, lalu di bagikan ke tetangga dan saudara. Sesuatu yang sebelumnya bahkan tidak pernah saya lakukan.

Saya mengurangi belanja tidak penting-penting saya seperti dulu, dan lebih banyak membeli bahan masak juga sleepwear. Saya belajar bangun pagi, dan sarapan. Hal lain yang dulu saya tidak pernah lakukan.

Lalu tadi pagi, saya berdiskusi dengan papa. Saya menemukan jawaban; bahwa banyak hal yang saya miliki di depan mata, dan itu lebih dari cukup. Itu saja dulu. 

Jika saya belum menemukan jawaban atas pertanyaan saya. Biarkan saja. Biarkan saja saya menikmati waktu saya dan apa yang saya punya sekarang, persis di depan mata saya.

Sabtu, 12 Juni 2021

Kita yang Saling

“Dia yang bersama denganmu saat ini adalah bukan kebetulan yang tidak disengaja. Dari jutaan manusia kamu menemukan dia,— mencintai dia, berharap hidup bersama dengan dia untuk waktu yang lama. Dia memang bukan yang selalu ada dan tidak juga yang sempurna. Tapi dia tau bagaimana memperlakukanmu dengan baik, menjagamu, mendoakanmu, menjadi tim hore yang tidak kalah bersuara lantang ketika mendukungmu. Bagimu dia pasti berharga, pun sebaliknya. Jangan kalah dengan keadaan meski harus memperjuangi suatu hal yang tidak mudah, tetaplah saling menguatkan. Menyelesaikan masalah berdua itu juga termasuk proses untuk tumbuh bersama. Mendewasa bersama. Menerima lebih dan kurangnya sampai menua bersama-sama”. — Menemukan tulisan ini ketika merasa tidak cukup untuknya.


Nyatanya, dia kuat karenaku, dan aku kuat untuknya.

Kita adalah sepasang yang saling. Manusia terbuat dari kata pergi dan pulang. Seperti kata terima dan kasih. Layaknya mengenakan sepatu, kau tidak bisa hanya memakai satu dan meninggalkan yang lain.


Mungkin kita adalah sepasang telinga. Kamu yang kanan dan aku yang kiri. Selalu butuh dua untuk mendengar dengan jelas. Termasuk kata "Aku sayang kamu" walaupun itu diucapkan dengan berbisik.



Mungkin kita adalah sepasang kaki. Kamu kaki yang kanan dan aku kaki yang kiri. Salah satu dari kita tidak akan melangkah dengan cepat atau lambat atau terburu-buru. Kita saling menunggu. Kita akan saling sabar. Kita beriringan.


Mungkin kita adalah sepasang hati, yang diciptakan untuk menjadi sepasang. Sudah seharusnya saya mengenalmu sebagai bagian dari tubuh, hati saya yang sudah pergi lama dan kau curi di waktu yang tepat. Ketika diciptakan menjadi sepasang, diberkatilah hari aku dan kamu di pertemukan. Ketika saya dan kamu diciptakan, saya punya alasan untuk bersyukur tentang takdir, karena itu kamu dan bukan orang lain.


Ketika saya dan kamu diciptakan sepasang, saya begitu penasaran dan hendak melayangkan begitu banyak pertanyaan kepada pencipta. Tapi yang keluar dari bibir saya adalah


"Terima Kasih". — Dan bukankah itu sepasang?