Selasa, 30 Juni 2020

Kembali ke Juni

Setelah banyak langkah yang membuat kita semakin satu arah atau mungkin sebaliknya kehilangan arah,

Mulai dari berjalan, berlari, mengitari, sampai kepada keinginan keinginan untuk memilih pergi dan berhenti,

Pada akhirnya kita tiba disini,
kembali ke Juni.
Aku menulis banyak cerita bersama Juni, tentang tersenyum, tentang tertawa dan menangis, menyesal dan kecewa, penuh rasa dan proses menuju dewasa.

Yang satu ini baru datang kembali, baru saja awal dari semuanya,
Tapi tak ku serahkan lagi diri ini seutuhnya kepadamu,
Bukan karena hilang rasa percaya namun aku sudah belajar, bahwa selama aku duduk bersebelahan bersama orang lain, sekalipun itu orang terdekat dan sekalipun itu kamu,
Rasa sakit dan resiko dikecewakan akan selalu ada, 
Untuk kali ini cukup aku, 
Aku yang memegang kendali penuh pada diriku sendiri

Waktu pertama melihatmu lagi, aku pikir logika dan hatiku akan seperti juni yang lalu, 
Bukan hanya sekedar kadarluasa, bukan tentang hatiku yang besar kemungkinan sudah mati rasa,
Tapi aku disini sudah terbiasa terluka, sudah sering dianggap biasa saja dan bahkan jadi opsi kesekian,
Sudah kebal terus berdiam diri seperti orang bodoh, menunggu, menunggu dan menunggu akan datangnya sebuah kepastian.

Jadi tak heran jika melihatmu kembali, rasa itu sirna, menguap entah kemana aku tak mengerti,
Padahal aku berharap rasa itu akan tetap ada, 
Mungkin dia kasihan melihatku terus terusan insomnia dan berderai air mata mengenang pilu.

Dulu kamu pernah bilang kalau kehilangan itu adalah sebuah penemuan tanpa batas, 
saat aku sedang cinta-cintanya sama kamu,

Sekarang aku mengerti kenapa saat aku melihatmu pertama kali rasa itu sirna, karena aku baru saja menemukan diriku kembali.
Sebab ada beberapa rasa yang tidak pernah bisa terbalaskan, dibiarkan saja nanti dia akan biasa saja.

Aku tersenyum, memahami, aku mengerti. Mungkin waktu itu, saat aku sudah sangat fasih menanganimu, saat itu juga kamu berpaling dan memilih yang lain,
Ku pikir itu akan jadi sakit yang paling sakit, ku pikir itu semua akan menjadi yang sia-sia, tapi semua itu ternyata adalah sebuah evaluasi dan remedial supaya nilaiku tak lagi buruk.

Lalu ketika purnamaku belum sempurna, kamu kembali.
Menawarkan janji untuk sama sama mengusahakan, 

Kita tak akan pernah tau, akan seperti apa jalan kedepannya, akankah banyak mengulang patah dan rasa sedih, atau akan banyak cerita bahagia, kita hanyalah orang orang yang tak pernah bisa menebak alurnya, tapi usahakan saja dulu, semoga tersemogakan dan semesta memberkati — Juni.

(di copy dari Notes telfon selulerku)

Rabu, 17 Juni 2020

Pulang

Pada pulangku yang kali ini, aku bingung apakah benar ini adalah adalah jalan yang benar untuk aku pulang atau aku harus berhenti lagi di persimpangan yang entah masih berapa jauh lagi di depan sana. Yang kulihat hanyalah kita berada dibawah langit yang sama, terkadang ia biru, tak jarang juga dia berwarna merah kesumba.

Apakah benar yang di katakan banyak orang kalau pergi harus pulang, apakah pergi harus berpikir untuk pulang, apakah pulang itu bisa terjadi saat kita pergi, dan apakah pulang dan pergi harus berjalan bersamaan?

Atau kita hanya berputar-putar sebelum kembali menemukan? 

Dulu aku pernah berkata, pergilah kesana disuatu hari yang baik jika nyamanmu masih disini, kembalilah. Kalau memang tidak lagi nyamanmu disini, melangkahlah maju ke depan aku akan mengikhlaskanmu. Tapi kamu boleh mundur selangkah sampai pada yang kemarin, mundurlah dan kau akan sampai jauh ke ufuk sana. Bahwa kita hanyalah berputar-putar. Kita tidak pernah pergi atau pulang, kita hanya terbentang di antara awal dan akhir, antara kini dan nanti, antara aku dan kamu serta jarak yang membuat kita menjadi asik dengan dunia kita masing-masing. 

Tapi, jalan pulang itu selalu meracau. Seolah berkata, pulanglah lewat sini, lewati saja aku. 

Aku dan kamu adalah sepasang asing setelah terluka oleh banyak ego masing-masing. Terhempas jauh dari saling. Tapi kita tak pernah tau kalau jarak antara pergi dan pulang hanya sejengkal saja, yang tercipta di otak kita, yang lebih suka tinggal di awang-awang. 

Jangan ragu untuk putar balik, jangan takut untuk pulang. Diamku waktu itu yang meyakinkan hatiku untuk meyakinkan hati.

Aku semesta katamu dan kamu adalah bayang-bayang, tapi nyatanya tidak. Kita punya semesta masing-masing dan saling membayangi masing-masing. Ah, rindu yang sialan, kamu menarikku kembali dan hati kecilku menyerah pada rindu, kau yang paling tau bagian itu.

Aku kembali terjebak atau memang aku yang sengaja menjebakkan diriku kepada jurangmu yang dasarnya sungai atau semak belukar, lagi. 

Ah, tapi tidak. Biar ku rubah sedikit kalimatnya. Aku tidak mau lagi terjebak di dalam jurang, karena aku tidak akan pernah pulang jika aku terjebak disitu. Aku ingin terjebak bersamamu di dalam rumah tua itu, rumah yang selamanya akan menjadi rumah, tempatku pulang. Bentukannya tetap sama tapi mungkin isi yang berbeda, tak apa, aku harus mencoba menerima kalau setiap hari waktu akan menguras setiap pribadi kita, dipaksa untuk menjadi manusia dewasa dan saling memantaskan. 

Di dalam perjalananku kali ini, aku tak berpikir lagi tentang berapa banyak barang yang aku bawa saat pergi dan sisa apa saja barang yang ku bawa saat pulang. Yang aku belajar selama perjalanan pulangku kali ini, adalah perkara merelakan bekalmu yang kau anggap berharga untuk sampai pada tujuan,  mengikhlaskan kebahagiaan dan merelakan kesempatan walaupun akan banyak konsekuensinya. Tenang saja, selalu ada jalan untuk putar balik, selalu ada cara untuk menuju rumah walau mungkin dia tak lagi berwujud rumah. Tidak pernah ada kata terlambat untuk kembali. Semesta selalu bermain cantik perkara mendewasakan sebelum kembali menemukan. 

Ada satu perasaan yang aku temukan saat aku meyakinkan hati dan kembali menyerahkannya lagi, aku betah dan nyaman disana, dengannya. Ada perasaan yang seperti sudahlah saya tidak perlu kemana-mana lagi, cukup di dia saja. Tak perlu dua cukup dia. 

Kamu. 
Makhluk Tuhan yang terbuat dari apa? 

Ada denganmu bukan kesalahan, garis waktu yang membawamu. Kamu meruntuhkan keraguan akan hadirmu lagi, meyakinkan hatiku kalau kamu layak dijadikkan akhir dari semua perjalanan ini. Di sisa hati ini, aku menyerahkan hatiku yang sudah tak utuh lagi, semoga dijaga lagi olehmu dengan baik-baik.

Jangan kemana-mana lagi yaa, tetap diam saja di rumah ini. Semoga kamu adalah awal dari akhir yang tak terduga.