Selasa, 09 Juni 2015

#3 Untuk rindu kepada teduhnya senyuman

Ini puisi untukmu.

Senja kelabu, 
Langit membiru
Lautan beradu. 
Sebuah hati sedang terhimpit rindu

Adakah kau disana
Merasakan apa yang kurasakan
Anganku melambung jauh ke sana
Bayangmu yang kian sirna

Dapatkah kau dengar 
Jeritan hati ini memanggil namamu
Meski ku tau takan pernah mungkin untuk memeluk
Aku merindukanmu.

Voor Mama Ge, yang sedang tersenyum di surga:

Waktu begitu panjang. Saya disini untuk hari yang kesekian tanpa hadirmu. Matamu yang teduh selalu membuat saya ingin lekas berkemas lalu pulang. Pulang menjemput kasih, kasih yang tulus dari seorang ibu berhati malaikat. 
Sudah lama ternyata mama tertidur. Tertidur panjang dan aku tak tau apa yang mama mimpikan, apakah ada saya di dalam mimpi itu? terakhir saya bertemu dengan wajah manis mama 2 minggu yang lalu, di mimpi itu mama masih terlihat sama. Senyumannya yang selalu tulus seolah tak pernah ada kesedihan yang menimpanya. Aku berlari mengejar bayangannya tapi terlalu cepat dan hilang. Apa itu berarti mama rindu kepada saya? 

Menghitung rindu memang tak pernah habisnya. Saya masih melakukan itu setiap hari, menghitung rindu untuk waktu yang tak tau kapan. Karena bukan saat liburan rindu itu terbayarkan, tapi nanti di waktu yang hanya milik Tuhan dan itu masih rahasia.
Tapi saya manusia, saya lelah menghitung. Terkadang ego saya yang memegang kendali lalu saya terduduk disudut dan meratapi kenyataan sambil meyakinkan hati bahwa akan ada kehidupan kedua yang manis seperti ini atau bahkan lebih manis dari cerita hari kemarin.

Sekilas anganku berpikir, seindah itukah surga di atas sana sampai-sampai mama tak ingin untuk kembali hanya sekedar memeluk dan mencium lalu pergi? betah sekali mama disana.
Ternyata mama tetap tertidur di dalam gelap dan hanya angin yang mendengarkan jeritan hati ini.

Semoga mama ada di antara bintang-bintang malam ini dan jika itu benar aku tau mama sedang tersenyum dari kejauhan karena sinarnya begitu terang dan meneduhkan seteduh hatiku saat melihat matamu. 


Lesson on the road

Ilmu hidup itu takan pernah bisa selesai belajarnya, setiap hari pasti saja ada satu pelajaran tambahan.

belajar hidup bisa kapan saja dan dimana saja. dan ini cerita saya hari ini.

Tadi siang pulang kuliah saya disuruh menemani ayah saya untuk menghadiri sebuah rapat. Sesampainya disana beliau turun dan saya duduk di mobil bersama supirnya papa, namanya mas herman. Sepeninggalan papa, 10 menit kemudian dia balik dengan beberapa bungkus nasi. Saya tak banyak bertanya hanya melihat sekilkas lalu kembali sibuk sendiri di belakang. Karena melihat saya sibuk sendiri di belakang, saya seperti tersadar ada yang melihat saya akhirnya bapaknya ngomong "dek, saya boleh ga sebentar ke senen?" tanyanya. "yaudah pak gapapa, saya bisa kok nunggu papa disini aja. Emang bapak mau shalat ya? kenapa ga di dalam aja?" rumah bapak itu memang di daerah Senen dan jamnya juga udah pas jam shalat. "ga kok dek, tadi saya sudah shalat sekalian pas beli nasi. saya mau bawa nasi ini" sambungnya. "oh yaudah pak gapapa saya ikut juga gapapa, kan papa juga masih lama. Tapi saya izin dulu ya pak takutnya papa habis rapat kita dicariin" jawab saya seperti itu. Saya hanya melihat anggukan bapakya dari belakang, saya menelfon papa sekedar memberi tahu.

Dari Senopati ke Senen tadi lumayan lancar karena sudah habis jam istirahat.
Kita masuk beberapa gang yang asing bagi saya, mungkin karena saya tidak pernah tau ada gang itu. Kami berhenti di sebuah rumah, sampai disana keluarlah anak-anak kecil awalnya saya pikir itu anak-anak si bapak ini, dalam hati saya bilang ampun ni bapak istrinya kuat bener ngelahirin anak sebanyak ini. Tapi ternyata saya salah, semua anak kecil ini adalah anak jalanan yang biasanya ngumpul di rumah singgah ini dan luar biasanya adalah si bapak ini dari penghasilan sebagai seorang supir setiap minggu dia pasti akan datang ke sini untuk ngasih makanan buat makan siang mereka, emang ga seberapa hanya nasi putih, telor rebus dicabein, tempe, sama sayur asem tapi bagi anak-anak ini mendapatkan makanan seperti ini saja sudah bahagia.

Bapaknya juga bilang kalau anak-anak ini ada yang bapak ibunya ga ada, ada yang bapaknya masuk penjara, ibunya kalau malam kerja di kali jodoh dan semua itu karena masalah ekonomi.
Lalu saya teringat satu kalimat teman saya begini "makanya kalau ga mau susah ya jangan punya banyak anak, kan ngerepotin ntar" iya benar tapi semua yang terjadi atas hidup mereka pasti mereka ga akan mau, mereka juga mau hidup seperti yang lainnya tanpa berpikir besok saya akan makan apa. Parahnya lagi tadi ada anak kecil yang saya tanyai "adek sekolah dimana?" dengan polos dan gamblangnya dia ngomong "sekolah? boro-boro makan besok aja ga tau bisa apa ga malah mikirin sekolah, ga mungkin bisa". sepesimis inikah mereka? batin saya.

Sepanjang perjalanan pulang banyak sekali kata yang berputar acak di otak saya.
"saya sekali mengangkat telfon, apa yang saya minta dapat, lalu mereka? harus bekerja dan modal mereka hanya belas kasihan"
"saya kadang malas ke kampus hanya karena dosen ini membosankan, lalu mereka? berseragam rapih layaknya anak pada umumnya saja mungkin hanya ada di dalam imajinasi mereka"
"saya kadang marah kalau papa tidak mengangkat telfon saya, padahal papa lagi kerja, sedangkan mereka? orang tuanya bisa pulang dengan selamat sampai dirumah saja sudah syukur"
Ini hidup. Dan cerita seperti ini akan terus ada sampai entah kapan waktu yang tak di tentukan dan tak seorangpun yang tau.
Kalau sudah begini mau menyalahkan siapa? pemerintah lagi? bukan, mereka yang mengambil hak-hak rakyat yang harus disalahkan. Seharusnya para tikus-tikus kantor ini yang dibunuh mati biar keluarga mereka merasakan sakitnya ditinggal pergi salah satu anggota keluarganya hanya karena tak bisa makan dan minum. Semua sudah ada dituliskan di Undang-undang dan sudah jelas, uang dan segala tetek-bengeknya sudah ada di APBN hanya saja uang selalu menggelapkan mata.

Dan hari ini saya belajar lagi bahwa "memberi dari kekuranganmu hari ini maka Tuhan akan menambahkan lebih dari apa yang kau perlukan"